Senin, 09 Agustus 2010

TAKDIR DAN USAHA

Sumber : http://teosufi.blogspot.com/

Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia.
Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.
Untuk memahami konsep takdir, jadi umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua dimensi dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan
Pada masa nubuah, wujud "Lauh" yang dikenal oleh para sahabat adalah sebidang papan atau tulang yang biasa ditulisi. Papan dan tulang itu hanya disebut Lauh jika sudah ditulisi. Sedangkan "Qalam"adalah alat tulis atau pena. Pada masa itu "Qalam" berupa bulu unggas yang dipakai untuk menulis setelah dicelupkan ke tinta terlebih dahulu atau sebatang ranting/kayu yang diruncingkan untuk mengores "Lauh". Demikianlah penggambaran yang diberikan oleh Ibnu Manzhur dalam kitab "Lisanul Arab".
Mengenai Lauh Mahfuzh (Lauh yang selalu dijaga) dan pena yang telah menulisinya ada sebuah atsar marfu'dari Ibnu 'Abbas. Beliau berkata, "sesungguhnya Allah menciptakan Lauh Mahfuzh dari mutiara putih. Kedua sampulnya dari permata yaqut merah. Qalamnya adalah cahaya, tulisannya adalah cahaya, dan lebarnya sejarak antara langit dan bumi,"

Tulisan pada Lauh Mahfuzh
Takdir Allah untuk setiap dan semua mahluk bresifat azali. Sebelum Allah menciptakan semua makhluk -temasuk Qalam dan Lauh Mahfuzh- Allah sudah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh setiap makhluk. Kemudian pada masa 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi Allah menciptakan Qalam, lalu diperintahkannya Qalam untuk menulis semua takdir. Hal ini dapat kita pahami dari kedua hadist berikut ini:
"Allah menulis takdir pada makhluk 50.000 tahun sebelum diciptakanya semua langit dan bumi." (H.R.Muslim dari Abdullah bin 'Amru bin 'Ash)
"Benda pertama yang diciptakan oleh Allah adalah pena. Allah berfirman, 'Tulislah!' Pena menjawab, 'Apa yang aku tulis?' Allah berfirman, 'Tulislah takdir yang telah terjadi dan akan terjadi selamanya!'." (H.R.at-Tirmidziy dan dinyatakan shahih oleh al-Albaniy)
Hal ini juga telah Allah terangkan di dalam al-Qur'an. Allah berfirman,
"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kamami menciptakanya. Sesungguhnya Allah mengetahuinya apa saja yang ada dilangit dan dibumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah." (Q.S. al-Hajj:70)
Apa yand terjadi diseluruh alam dijadikan oleh Allah dengan iradah dan masyiah-Nya yang berporos pada rahmat dan hikmah-Nya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki tersesat dengan hikmah-Nya, semua itu dan semua takdir telah ditulis di dalam Lauh Mahfuzh. Tidak ada seorang pun yang terlewatkan. Apa yang telah terjadi dan akan terjadi sampai hari kiamat. Dan saat kejadianya, semuanya persis seperti apa yang tertulis disana. Tidak sesuatu pun yang bergeser. Ini adalah bukti kesempurnaan ilmu, kuasa dan hikmah Allah.

Dimensi Ketuhanan
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang).
Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2)
Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70)
Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al Maa'idah / QS. 5:17)
Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An'am / QS 6:149)
Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96)
Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang menentukan segala akibat (Kausalitas).

Dimensi kemanusiaan
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang meginformasikan bahwa Allah memperintahkan manusia untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang dipilihnya.
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Ar Ra'd/ QS. 13:11)
(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Al Mulk / QS. 67:2)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat Nabi zaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa), siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan menerima ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak juga mereka akan bersedih (Al-Baqarah / QS. 2:62). Iman kepada Allah dan hari kemudian dalam arti juga beriman kepada Rasul, kitab suci, malaikat, dan takdir.
... barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir... (Al Kahfi / QS. 18:29)

Implikasi Iman kepada Takdir
Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manusia hanya tahu takdirnya setelah terjadi.
Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinilainya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (Al Hadiid QS. 57:23).
Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al Hadits untuk ditaati.
Memahami Takdir Illahi. Di dalam memahami takdir Illahi, setiap manusia harus merujuk pada apa yang terdapat dalam Rukun Iman yang telah dipaparkan dalam Hadis Rasulullah Saw yakni Percaya pada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir dan percaya pada Qada dan Qadar-Nya. Keenam poin yang termaktup dalam Rukun Iman di atas harus kita yakini seyakin-yakinya, guna melahirkan dan menumbuhkan ketabahan dan kesabaran yang penuh di dalam menerima ujian dan cobaan dari Allah Swt, karena tidak ada manusia yang tidak luput dari cobaan dan ujian. Dan mewujudkan kepercayaan yang tinggi bahwa dalam penciptaan manusia, Allah Swt menetapkan apa yang disebutkan agama dengan langkah, rezeki, pertemuan dan maut. Serta segala sesuatu yang baik (kenikmatan) atau segala sesuatu yang buruk (bencana maupun musibah).
Lima poin di atas kebanyakan dari manusia khususnya manusia muslim mungkin sudah bisa merealisasikanya dengan baik dan benar melalui amal ibadah kita sehari-hari. Apakah itu amalan yang dikerjakan secara munfarit (sendiri) atau berjamaah, saling sehat-menasehati dan menaburkan kebaikan yang kesemuanya itu terangkum dalam ber-Amar Makruf dan ber-Nahi Mungkar. Dengan satu pengharapan, keridhoan dan pahala dari Allah Swt. Lalu bagaimana dengan poin ke enam mengimani dan mempercayai adanya takdir dalam bentuk Qada & Qadar yang divoniskan Allah pada umat manusia?, bagaimana pula kita memahami dan mengimaninya ? sehingga apapun bentuk takdir apakah itu baik atau buruk, rasa syukur dan optimis tetap diterapkan dalam hidup dan kehidupan ini, dengan satu tekad Allah pun pasti memberikan jalan keluarnya.
Mengimani takdir Ilahi atau Qada & Qadar akan memberikan pelajaran pada manusia, bahwa segala sesuatu yang telah dan yang akan terjadi di jagat raya ini sudah sesuai dengan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh zat yang maha tinggi. Sebagai muslim sejati kita dituntut untuk mentaati, menerima dan mematuhi. Seperti yang difirmankan Allah Swt dalam Qs Al Ahzab-36 “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia berada dalam kesesatan yang nyata “
Setiap manusia memiliki ketentuan/ketetapan yang telah digariskan Allah dalam hidupnya, seperti yang di tegaskan Allah dalam Qs Ahzab-36 di atas. Namun memahami takdir (Qada & Qadar) acap kali melahirkan ketidakcocokan dan kesalahpahaman. Oleh karena itu untuk menyingkapinya kembali suatu keharusan memperhatikan dengan seksama (Al Quran dan Hadis Saw) yang menjelaskan akan hal tersebut. Agar kita bisa meluruskan segala hal yang terjadi sesuai dengan sikap positif dalam Islam (Positive Thinking).
Kalimat Qada dan Qadar berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa makna di antaranya Qada yang berati “Hukum” atau “Keputusan”. Hal ini dapat kita pahami dalam Qs An Nisaa-65 “Maka demi Tuhan mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. Dalam menerima suatu keputusan/ketetapan apalagi yang datangnya dari Allah Swt keikhlasanlah yang akan dituntut dari seorang hamba. Qada, yang berarti juga “Kehendak” atau “Menjadikan” yang dimaksud di sini telah diterangkan Allah Qs Ali Imran-47 “Maryam berkata yaa Tuhanku apakah mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki manapun, Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril) Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendakinya. Apabila Allah berkehendak untuk menciptakan sesuatu maka Allah hanya cukup berkata “Jadilah” lalu jadilah dia”. Hal ini juga dapat kita lihat dalam Qs Fushshilat-12, yang mengupas tentang ketentuan Allah terhadap alam semesta dan jagat raya ini.
Begitu juga dengan kalimat Qadar yang bermakna “ukuran” firman Allah dalam Qs Ar Ra’d-17 yang menjelaskan bagaimana Allah Swt mengumpamakan yang benar itu sebagai air atau logam yang bermanfaat, sedangkan yang buruk/bathil itu sama dengan buih/sisa, tahi logam yang akan lenyap dan tidak ada guna sama sekali bagi manusia. Qadar Allah juga berarti “Kepastian” “Lalu Kami tentukan bentuknya maka Kami sebaik-baik yang menentukan (Qs Al Mursalat-23 ). Sedangkan dalam bahasa Indonesia Qada & Qadar dalam artinya sederhananya biasa kita sebut dengan Takdir Ilahi atau ketentuan Allah Taalla.
Pernah seorang teman mengeluh saat ia mendapat cobaan berkali-kali. “Mengapa ya Tuhan tidak bersikap adil kepada saya? Sampai sekarang saya masih saja menderita. Takdir saya buruk sekali! Mengapa Tuhan tidak kasihan kepada saya?”
Saat itu saya tidak mau menjawab persoalan yang tidak mudah ini. Saya hanya katakan agar ia bersabar terhadap ujian Allah SWT itu. Mudah-mudahan itu akan menjadi kafarat atas berbagai dosa dan jadi tabungan baik di akhirat kelak.
Namun tetap saja ia tidak puas dan masih tetap mengeluh, “Saya sudah lakukan semua perintah Allah. Setiap hari saya berdoa agar saya dilepaskan dari berbagai derita. Namun tetap saja Allah tak mendengar dan tak mau mengabulkan do’a saya.”
Bagaimana Anda menjawab persoalan pelik ini?
Ini memang bukan teka-teki hidup yang mudah kita pahami. Banyak rahasia Allah SWT yang tidak bisa ditembus oleh ketinggian pengetahuan dan teknologi manusia. Apa arti dari semua peristiwa kehidupan ini? Mengapa tiba-tiba turun bencana besar yang menghabiskan segalanya dan menewaskan ribuan manusia? Mengapa Amerika dan Israel yang menguasai dunia? Mengapa orang jahat lebih kaya dan lebih sejahtera hidupnya, sementara orang-orang baik dan suci menderita? Mengapa koruptor besar itu dibebaskan? Mengapa perbuatan baik kita tidak mendapat ganjaran sepadan? Mengapa para Nabi bisa dibunuh? Mengapa mereka tidak menang saja? Apakah Tuhan tidak menolong mereka?
Pasti banyak pertanyaan-pertanyaan besar seperti itu yang susah untuk bisa kita jawab. Sebelum saya melanjutkan diskusi ini, saya ingin mendapat masukan Anda semua, para pembaca.
Silakan berkontribusi ya!
Sambil menunggu pendapat yang lain, saya coba kutip satu masukan menarik tentang apa itu takdir, yang saya peroleh dari buku “Anak, Antara Kekuatan Gen dan Pendidikan”, karangan Prof. Muhammad Taqi Falsafi.
Disitu diambil sebuah ilustrasi tentang seseorang yang mencoba menjatuhkan dirinya dari atas sebuah gedung bertingkat tinggi ke sebuah batu marmer yang keras. Orang tua itu berkata, “Kalau memang sudah ditakdirkan mati, maka saya akan mati. Dan jika ditakdirkan hidup, pasti saya akan tetap hidup.”
Menurut Prof. Falsafi, sungguh orang ini telah keliru besar memahami persoalan takdir. Katanya, Allah SWT telah mempunyai takdir-takdir paksaan dalam masalah ini dan juga punya takdir ikhtiar di sisi yang lain.
Adapun takdir paksaan dalam masalah ini adalah:
1. Qadha dan qadar Allah telah menjadikan marmer sebagai batu keras dan kuat
2. Tengkorak kepala manusia diciptakan (berdasarkan qadha dan qadar Allah) dari tulang yang lembut dan berpotensi untuk pecah.
3. Qadha dan qadar Allah telah menetapkan adanya hukum gravitasi yang akan membuat benda jatuh ke tanah.
4. Qadha dan qadar Allah memutuskan bahwa setiap orang yang melemparkan diri dari ketinggian ke tanah yang keras, niscaya tulangnya akan hancur berantakan dan otaknya berhamburan keluar.
5. Qadha dan qadar Allah juga memutuskan bahwa setiap manusia harus mati ketika otaknya hancur.
6. Qadha dan qadar Allah jua telah memutuskan bahwa manusia mempunyai kehendak dan ikhtiar/pilihan. Ia bisa menjatuhkan dirinya lalu mati, atau menahan diri untuk tidak melakukan bunuh diri itu, lalu turun menuruni tangga dengan selamat.
Lalu beliau mengutip satu riwayat dari Ibnu Nabatah, bahwa Ali bin Abi Thalib kw, pernah pada suatu hari berpindah dari satu tembok ke tembok yang lain. Para sahabat menegur beliau, “Wahai Amirul Mukminin, apakah Anda lari dari qadha Allah?” Imam Ali menjawab, “Saya lari dari qadha Allah menuju qadar Allah Azza wa Jalla.”
Maka, kalau kedua kalimat di atas dikonotasikan dengan Allah akan menjadi Qadha Allah dan Qadar Allah yang menggambarkan konotasi yang saling mengisi dan melengkapi yang bersifat tetap, istilah agamanya dikenal dengan “Sunatullah” atau segala sesuatu bergerak sesuai dengan ketentuan dan kehendak dari sang maha pencipta dan maha mengetahui. Jelasnya kita sebagai manusia yang diberi akal, pikiran dan hati dapat menentukan pilihan dalam berbagai masalah, sebagai khalifah dalam kebebasan tersebut yang diberikan Allah dalam hal iman atau kafir, baik atau buruk, sorga atau neraka. Namun dalam hal tertentu pula baik di dunia maupun di akhirat akan digariskan pula oleh Allah Swt.
Di dalam memahami Takdir Illahi atau Qada & Qadar Al Quran Nul Karim dan sunah Rasulullah Saw memberikan beberapa tahapan yang harus dikaji lewat pemahaman yang mendalam dari manusia, agar manusia itu tidak terjerembab masuk ke lumpur dosa dan rasa keputus asaan akibat rasa pesimis dalam menerima takdir tersebut. Di antaranya : Al-Iim (pengetahuan) yaitu mengimani dan meyakini bahwa Allah itu maha tahu atas segala sesuatu apa-apa yang ada di langgit dan di bumi. Baik secara umum maupun secara terperinci dan detail, baik perbuatan yang di nampakan maupun yang tersembunyi, baik perbuatan-Nya, perbuatan makhlik-Nya dan tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya.
Al Kitabah ( Penulisan ) yaitu mengimani bahwa Allah Swt telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh yang ada di sisi-Nya. Allah Swt berfirman dalam Qs Al Hajj-70 “ Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langgit dan di bumi, bahwa yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab ( Lauh Mahfuzh ) bagi Allah. Mengenai Ayat ini pernah di pertanyakan pada Rasulullah Saw, mengapa kita mesti berusaha dan tidak pasrah, nrimo saja dengan takdir, garis, nasib yang telah tertulis yaa Rasulullah ?. Beliau Saw memjawab, berusahalah kalian, masing-masing akan di mudahkan menurut takdir yang telah di tentukan baginya. Seperti yang di firmankan Allah Swt dalam Qs Al Lail ayat 5-11 “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah bertaqwa, membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka, kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah dan adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup maka kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa (mati). Manusia hanya bisa berusaha semaksimal mungkin, Allah Swt yang menentukan segalanya. Musibah dan bencana dalam bentuk dan rupa apapun merupakan takdir Illahi yang akan di alami setiap orang tidak ada yang bisa mengelak dari hal ini.
Pemahaman yang lain yang harus kita miliki dalam mengimani takdir Ilahi adalah Al Masyi’ah (kehendak) dari Allah Swt lihat Qs At Takwir-28-29 yang menerangkan bahwa kehendak Allah yang berlaku secara mutlak terhadap alam semesta ini. Al Khalq (Penciptaan) yaitu mengimani bahwa Allah Swt pencipta dari segala sesuatu, apa yang ada di langgit dan di bumi penciptanya tiada lain adalah Allah Swt sampai pada kematian dengan sebab apapun di ciptakan Allah Aza Wajalla. (lihat Qs Al Mulk-2.)
Dengan segala keterbatasan dan kekuarangan yang kita punyai sebagai manusia di sela-sela kelebihan yang di miliki Allah, hendaknya selalu menjadi renungan bagi diri untuk selalu mematuhi segala perintah dan larangan-Nya. Semoga takdir dan keadaan yang buruk dan menyusahkan di jauhkan Allah dalam kehidupan kita. Dengan memantapkan Ikhtiar dengan sungguh-sungguh serta suatu keyakinan bahwa apa-apa yang kita inginkan tidak akan datang dengan sendirinya. Namun, untuk meraih itu semua di butuhkan usaha dengan benar dan penuh kesabaran sambil bertawakal dan menyerahkan diri pada Allah Swt yang mengendalikan kebaikan dan keburukan itu.
Kalau hal ini sudah tertanam dalam jiwa, hati dan pikiran serta selalu berlaku sabar, maka pemahaman kita terhadap Takdir Ilahi dalam warna Qada & Qadar Insya Allah akan membwa kita pada jenjang iman dan taqwa di bawah lindungan sang Ilahi Rabbi, menanamkan kesadaran dalanm diri bahwa memang Dialah di atas segala-galanya. Serta senantiasa menyadari dan menerima realita, membangun kesabaran yang mantap yang akan menjadi pemicu dalam berusaha dengan bekal keoptimisan diiringi dengan doa dan tawakal pada-Nya. Diri kita ini seakan tiada berarti, ibarat sebutir debu di tenggah padang pasir yang luas tak bertepi, berhadapan dengan kemaha kuasaan dan kemaha perkasaan Allah Aza Wajalla… Allah Huu A’llam.
Diposkan oleh maman di 01:12 0 komentar Link ke posting ini

NUR ALLAH
Pengenalan Nur (Cahaya)
Nur atau cahaya itu ialah sesuatu yang menyebabkan kita nampak dengan jelas akan sesuatu. Baik dengan mata kepala (nazariah) kita atau mata hati (Basariah). Ia adalah perlu untuk kehidupan manusia terutama dalam kehidupan yang berhubung dengan agama dan penerimaan petunjuk daripada Allah s.w.t.

Hakikat Nur
Nur bermaksud cahaya, lawannya gelap. Selain itu nur juga berarti petunjuk atau hidayah. Allah s.w.t berfirman di dalam Al-Quran. Di dalam Al-Quran, terdapat 43 perkataan An-Nur yang membawa pelbagai makna. Antaranya :
1 Petunjuk dan Keimanan
Allah Pelindung bagi orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang orang yang kafir, pelindung mereka adalah Thagut (syaitan), mengeluarkan mereka daripada Nur petunjuk dan iman kepada kegelapan iaitu kekufuran.1
2 Waktu Siang
Maha suci Allah yang menjadikan langit dan bumi dan telah menjadikan kegelapan dan cahaya.2
2 Nabi Muhammad saw
Telah datang kepada kamu nur yaitu Nabi Muhammad dan kitab yang nyata.3
3 Taurat dan Injil
Dan kami datangkan Injil didalamnya ada petunjuk dan Nur.4 Dan kami datangkan kepadanya taurat di dalamnya ada petunjuk dan Nur.5

PEMBAHASAN AYAT 35 DARI SURAH AN-NUR
Allah pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang besar yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang yang begemerlapan yang dinyalakan dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tidak tumbuh di sebelah Timur dan tidak pula tumbuh di sebelah Barat. Yang minyaknya sahaja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak di sentuh api. Cahaya di atas cahaya berlapisan, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dikehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.6
Terjemahan Ayat Dalam Bahasa Inggris
Allah is the Light of the heavens and the earth. The parable of His Light is as (if there were) a niche within it a lamp : the lamp is in the glass, the glass as it were a brilliant star, lit from a blessed tree, an olive, neither of the east nor of the west, whose oil would almost glow forth (of itself) through no fire touched it. Light upon Light! Allah guides to His Light whom He wills. And Allah sets forth parables for mankind, and Allah is Knower of everything.
Pendapat Ulama Tafsir Berkenaan Perumpamaan Pada Ayat 35 Surah An-Nur Kenyataan Pada Ayat
1. Allah, Dialah cahaya langit dan bumi
2. Bandingan nur-Nya adalah seperti sebuah "Misykaat"
3. Allah memimpin sesiapa yang dikehendaki-Nya kepada nur-Nya itu
4. Allah mengemukakan berbagai-bagai perumpamaan untuk umat manusia
5. Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu

Perumpamaan Pada Ayat
1. Nur-Nya adalah seperti sebuah Misykat
2. Misykat yang berisi sebuah lampu (Misbah)
3. Lampu itu di dalam kaca (Zujajah)
4. Kaca itu pula jernih terang laksana bintang yang bersinar cemerlang (Kaukabun Durriyun)
5. Lampu itu dinyalakan dengan minyak dari pokok yang banyak manfaatnya (Syajarah Mubarakah)
6. Yaitu pokok zaitun yang bukan sahaja disinari matahari semasa naiknya dan bukan sahaja semasa turunnya (La Syarqiyyah Wa La Gharbiyyah)
7. Hampir-hampir minyaknya itu dengan sendirinya memancarkan cahaya walaupun ia tidak disentuh api (Yakaadu zaituha yudhi-u walau lam tamsashu naar)
8. Cahaya berlapis cahaya (Nur ‘ala Nur)

Tafsiran Ayat
Allah yang empunya cahaya dan dengan cahaya itu penduduk yang ada di langit dan di bumi ini dipimpinNya dan ditunjuki-Nya dengan bukti-bukti wujud alam semesta dan bukti pengajaran yang dibawa oleh para utusanNya. Maka dengan cahaya-Nya itulah manusia akan terpimpin ke jalan yang hak dan terhindar dari kesesatan.
Perumpamaan bukti yang dipancarkan keseluruh alam ini ibarat cahaya dari sebuah lampu pelita yang terletak di dalam sebuah lubang dinding, atau pembuluh seperti lampu suluh.
Dan pelita atau lampu itu sifatnya seperti berikut :
Pelita yang bercahaya itu berada di dalam sebuah kaca atau gelas yang terang dan bersinar. Kaca yang menutupi pelita itu seolah-olahnya seperti sebuah bintang yang amat besar daripada jenis bintang-bintang di langit seperti bintang timur (zuhrah) ataupun bintang musytari.
Pelita itu menyala dengan perantaraan minyak zaitun yang membasahi sumbunya, dari sebatang pohon yang menghasilkan buah zaitun, dan pohon itu dinamakan Syajarah Al-Mubarakah (pohon yang berkat) kerana buah zaitun itu minyaknya mempunyai kegunaan atau faedah yang sangat banyak. Pohon zaitun itu pula tumbuhnya di lereng-lereng gunung atau di padang-padang pasir yang luas, terdedah di bawah sinaran matahari, tidak terlindung oleh sesuatu apa pun selama terbit matahari itu hingga terbenam. Dan minyak zaitun itu pula sangat jernih. Lafaz La Syarqiyyah Wala Gharbiyyah (tidak di timur dan di barat) maksudnya, pohon zaitun itu kebanyakannya tumbuh di negeri-negeri daerah timur tengah seperti Syam (sekarang Syria) dan dia bukanlah negeri timur atau negeri barat. Oleh kerana minyak zaitun itu terlalu jernih, kelihatanlah dari jauh seolah-olah dia yang menyinarkan cahaya, dan kalau disentuh oleh api, maka akan bertambah-tambah lagi terang cahayanya. Maka inilah yang dinyatakan oleh Allah swt dengan firmannya Nur ‘Ala Nur (Cahaya Atas Cahaya).
Dimaksudkan di sini Cahaya Allah itu diumpamakan sebagai petunjuk daripada Al-Quran, dan ia adalah seperti pelita yang terang benderang menerangi umat manusia yang hidupnya di dalam gelap gelita, yakni kejahilan. Cahaya Al-Quran itulah laksana cahaya lampu, dan lampu itu berada di dalam sebuah kaca atau gelas yang sangat jernih, sedang cahayanya pula seperti cahaya bintang yang berkilau-kilauan di atas langit. Lampu itu dinyalakan oleh minyak zaitun, yang tumbuh pohonnya kebanyakan di negeri yang bukan barat dan bukan timur.
Sedang minyaknya sangat jernih pula, sehingga kerana kejernihannya seolah-olahnya bercahaya dengan sendiri maskipun ia tidak disentuh oleh api – ibarat lampu elektrik zaman ini. Wujudnya tenaga elektrik itu tidaklah ditentukan datangnya dari barat ataupun dari timur. Maka dari elektrik, lampu nyala dengan sendirinya tanpa menggunakan api. Begitulah dibaratkan hati seorang manusia mukmin itu dapat menerima petunjuk sebelum di didatangi ilmu pengetahuan. Apabila dia didatangi ilmu pengetahuan, semakain mendapat petunjuk pula dan inilah yang diakatakan Cahaya Atas Cahaya.

ulasan selengkapnya masih panjang ....