Senin, 19 November 2012

RENUNGAN SUNNAH 01


Dari Ibnu Umar Ra. ia berkata: “Pada satu ketika dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepotong emas. Emas itu adalah emas zakat yang pertama sekali dibawa oleh Bani Sulaim dari  pertambangan  mereka. Maka sahabat berkata: “Hai Rasulullah! Emas ini adalah hasil  dari tambang kita”. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa  Sallam menjawab,  “Nanti kamu akan dapati banyak tambang-tambang, dan  yang akan menguasainya adalah orang-orang jahat“. (HR. Baihaqi)

Firman Allah ta’ala yang artinya “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60] : 8)

Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut  merasakan sakitnya).” (HR Bukhari 5552) (HR Muslim 4685)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Barang   siapa menahan (menutup) anggur pada hari-hari pemetikan, hingga ia menjualnya kepada orang Yahudi, Nasrani, atau orang yang akan membuatnya   menjadi khamr, maka sungguh ia akan masuk neraka” (At Thabraniy dalam Al Ausath dan dishahihkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy).

Firman Allah ta’ala yang artinya “….dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran/permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS Al Ma’idah [5]:2)

Firman Allah ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)

Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya “Tidakkah kamu  perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum  yang dimurkai Allah  sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan  kamu dan bukan (pula)  dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman   kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu  memahaminya”, (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119).



Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau  berfikir tentang Dzat Allah".

Imam Sayyidina  Ali ra juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya  yang menciptakan  ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana  (pertanyaan tentang  tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat  makhluk) tidak boleh  dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221: “Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap  rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan  kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan  Dzat-Nya: Di mana?.”
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana  Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan  kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak  ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha  Tahu dan Kuasa“.
Hadit kisah budak Jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatkan  oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami tidak bisa dijadikan landasan untuk i'tiqod karena pertanyaan “di mana” atau "bagaimana"  tidak patut  disandarkan kepada Allah ta'ala.
Hadits tersebut tidak diletakkan dalam bab tentang iman (i’tiqod) namun pada bab tentang sholat.
Hal pokok yang disampaikan oleh hadits terebut adalah pada bagian perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan  manusia, karena  shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca  al-Qur’an.”
Pada saat Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami  meriwayatkan kisah budak  Jariyah, beliau dalam keadaan baru masuk Islam yang dapat diketahui dengan pernyataannya "Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam  sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di  dalam  kejahiliyahan kemudian datang Islam". Jadi redaksi/matan kisah  budak  Jariyah adalah periwayatan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami secara   pribadi
Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah  Shahih Muslim  (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni  pertanyaan ‘Aina  Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan  tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan  kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul  kodri  jiddan (derajat Allah sangat tinggi).
Ada riwayat-riwayat yang lain yang lebih menjelaskan pemenuhan syarat sebagai orang beriman seperti
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Aku dikhabarkan oleh `Atha`, bahwasanya   seorang laki-laki memiliki seorang budak perempuan yang  dipekerjakannya  untuk mengembalakan kambingnya dan kambing-kambing ini  merupakan kambing pilihan – yakni dari kambingnya yang banyak itu-. Kemudian ia bermaksud  memberikannya (kambing tersebut) kepada Nabi  shallallahu alaihi  wasallam Lalu tibalah binatang buas dan menerkam  kambingnya. Si  laki-laki kemudian marah dan menampar wajah budak  perempuan. Si lak-laki  lantas mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan menyebutkan semua yang terjadi kepada Nabi shallallahu  alaihi wasallam. Ia juga  menyebutkan bahwa ia mesti membebaskan seorang  budak yang beriman  sebagai kafarah dan ia bermaksud untuk menjadikan  budak ini sebagai  budak yang dibebaskannya ketika ia menamparnya itu.  Maka Rasul  shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya: “Datangkanlah  ia  kepadaku!”. Rasul shallallahu alaihi wasallam kemudian menanyainya   (budak wanita): “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain   Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “bahwasanya Muhammad adalah utusan   Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “kematian serta kebangkitan adalah sesuatu yang haq?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “surga dan neraka dalah haq?” Ia menjawab: “Iya”. Ketika selesai dialog tersebut, Rasul shallallahu alaihi wasallam mengatakan: “Bebaskanlah ia atau tetap bersamamu!”   (`Abdul Razzaq, Mushannaf, hadits no.: 16815 )
Disampaikan kepadaku oleh Imam Malik: dari Syihab dari `Ubaidillah  Bin Abdullah Bin `Uthbah Bin Mas`ud bahwasanya seorang laki-laki dari  kalangan Anshar  mendatangi Rasul shallallahu alaihi wasallam ia  memiliki seorang budak wanita berkulit hitam dan berkata: Wahai Rasul shallallahu alaihi  wasallam sesungguhnya saya mesti membebaskan seorang  budak beriman,  jikalau engkau melihatnya beriman, maka bebaskanlah ia.  Maka Rasul  shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya (budak  wanita) “Apakah  engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Ia  menjawab: “Iya”.  Dan “apakah engkau bersaksi bahwasanya Muhammad  adalah utusan Allah?”  ia menjawab: “Iya”. Dan “apakah engkau meyakini  adanya kebangkitan  setelah kematian?! Ia menjawab: “Iya”. Rasul  shallallahu alaihi wasallam  kemudian mengatakan : “bebaskanlah ia”  (Imam Malik, Al Muwatha`, hadits  no.: 1469)

Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang   pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus   Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20   menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah   fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur   al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu   Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat yang telah diakui dan disepakati oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)

Allah ta'ala berfirman yang artinya "Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui". (QS Yusuf [12]:76)

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam doanya:
اللهم أنت الاول فليس قبلك شئ وأنت الآخر فليس بعدك شئ وأنت الظاهر فليس    فوقك شئ وأنت الباطن فليس دونك شئ اقض عنا الدين واغننا من الفقر .
“Ya Allah, Engkaulah Dzat Yang Maha Awal, maka tiada sesuatu    sebelum-Mu. Engkaulah Dzat Yang Maha Akhir, maka tiada sesuatu setelah-Mu. Engkau lah Dzat Yang Maha Dzahir maka tiada sesuatu di    atas-Mu dan Engkau lah Dzat yang Maha Bathin maka tiada sesuatu di bawah-Mu. Ya Allah lunasilah hutangku dan kayakan aku dari kefakiran.” (HR Muslim, Shahih Muslim, 4/2084) atau (Syarah Muslim, 17/36)
Rasulullah bersabda "tiada sesuatu di atas-Mu", "tiada sesuatu di   bawah-Mu", maknanya tidak berlaku arah atas dan bawah bagi Dzat Allah 

Begitupula Allah ta'ala berfirman
"sabbaha lillaahi maa fiis samaawaati wamaa fiil ardhi"
yang artinya "bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi" (QS Ash Shaff [61]:1)
yusabbihu lillaahi maa fiis samaawaati wamaa fiil ardhi"
yang artinya "bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi" (QS At Taghaabun [64]:1)

Begitupula Allah ta'ala berfirman bahwa yang meliputi 'Arsy maupun langit dan segala sesuatu adalah ilmuNya bukan DzatNya
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya  benar-benar meliputi segala sesuatu”. (QS Ath Thalaq [65]:12)
“ilmu Engkau meliputi segala sesuatu” (QS al Mu’min / al Ghaafir [40]:7)

Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz    Al-‘Iraqi), Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al Muhith mengatakan: “Yang   dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut (Q Al-Mulk [67]:16) adalah malaikat”. Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit. Perkataan  ‘man’ yaitu ‘siapa’ dalam ayat   tadi berarti malaikat bukan berarti  Allah berada dan bertempat di   langit.
Dalam tafsir jalalain Imam Suyuthi ~rahimahullah mengatakan : “Yang   dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut   adalah  kekuasaan/kerajaan dan qudrat-Nya (Shulthonihi wa qudratihi )   jadi  yang di langit adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthonihi wa    qudratihi) bukan dzat Allah.
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka kemana yang Ia  kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat  pandangan ke  langit  karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu  sama dengan  sangkaan  seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia  meletakkan muka  nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama  seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia  menghadap ke arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid - 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah   di  langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah  Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim  jilid :5   hal :22]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa, sebagaimana Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-Hafidh Murtadha    Az-Zabidi juga berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu    maha suci Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud   mengangkat  tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya dua macam   yang telah  disebutkan oleh At-Thurthusyi :
Pertama: sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat    sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat  Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada  penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkat nya segala amalan  (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit  ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit  itu tempat  bagi  perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan  Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5,  hal 244]
Ulama yang sholeh dari kalangan keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki berkata  "Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada  Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada  Tuhanmu. Maka    kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan  bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang  diminta ada di tempat itu atau    menempati tempat itu karena Allah  Subhanahu wa ta’ala suci dari arah  dan tempat. Maka kembalinya Nabi  Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau  meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan  yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi  Musa alaihissalam di bumi."
Pada hakikatnya ‘Arsy diciptakan untuk menunjukkan kekuasaan Allah Azza wa Jalla sehingga tidak ada yang patut dijadikan Raja Manusia sebagaimana firmanNya malikinnaas, “Raja manusia” (QS An Naas [114]:2)
Rasulullah bersabda “wa Robbal ‘arsyil ‘azhiimii” , “Tuhan yang menguasai ‘Arsy” (HR Muslim 4888)
Imam Sayyidina Ali ra berkata, “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi DzatNya”
Pada hakikatnya beliau menemukan pertentangan di antara pendapatnya sendiri dikarenakan memahami dengan makna secara dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau memahaminya dengan metodologi “terjemahkan saja” dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja terhadap hadits “Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam“.
Allah ta’ala berfirman “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa [4] : 82)
Firman Allah ta’ala dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa    dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an. Jikalau manusia    mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maka pastilah yang    salah adalah pemahamannya.
Dengan arti kata lain segala pendapat atau pemahaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits tanpa bercampur dengan akal pikiran sendiri atau hawa nafsu maka pastilah tidak ada pertentangan di dalam pendapat atau pemahamannya.
“arrahmaanu ‘alaal  ‘arsyi istawaa” dan biasanya diterjemahkan dengan “Tuhan Yang Maha  Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha [20]: 5 )
Para ahli bahasa di negara kita telah sepakat bahwa terjemahan istawa adalah bersemayam
Bersemayam mempunyai dua makna yakni makna dzahir dan makna majaz
Makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat dari bersemayam menurut kamus bahasa Indonesia adalah
1. duduk; Pangeran bersemayam di kursi kerajaan
2. tinggal; berkediaman, bertempat; Presiden bersemayam di Istana Negara
Sedangkan makna tersirat atau makna majaz (makna kiasan) dari  bersemayam adalah terkait dengan hati, terpendam dalam hati, tersimpan (kata kiasan); Sudah lama dendam itu bersemayam di hatinya atau cinta    bersemayam di hatinya.
Kita mengimani sebagaimana lafaznya  "arrahmaanu ‘alaal ‘arsyi istawaa" atau terjemahannya “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” namun tidak boleh memaknai  istawa atau bersemayam dengan makna dzahir bahwa Allah ta'ala bertempat  atau duduk di atas 'Arsy
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat mutasyabihat  tentang sifat dengan makna   dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578  H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat  Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna  Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal  kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda  dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah ketika ditanya terkait firman Allah   QS.  Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia   tidak  diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha  Suci  dari  batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia  tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Dalam kitab al-Washiyyah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan: “Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam  pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam  pengertian bahwa   Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang  memelihara arsy dan   memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan  kapada   makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam  ini dan   mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti  sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia   berubah,  sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada  itu semua dengan kesucian yang agung”
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ    تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ    تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ    كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang  berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”
Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi ( 227-321 H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالغَايَاتِ وَالأرْكَانِ     وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ  كَسَائِرِ    الْمُبْتَدَعَاتِ
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk  kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun    anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak  lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu  maupun enam arah  penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang)  tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Syaikh Nawawi al Bantani berkata
Barang siapa meninggalkan 4 kalimat maka sempurnalah imannya, yaitu
1. Dimana
2. Bagaimana
3. Kapan dan
4. Berapa
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Dimana Allah ?
Maka jawabnya : Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh masa
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Bagaimana sifat Allah ?
Maka jawabnya : Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Kapan adanya Allah ?
Maka jawabnya : Pertama tanpa permulaan dan terakhir tanpa penghabisan
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Ada Berapa Allah ?
Maka jawabnya : Satu Sebagaimana firman Allah Ta`ala di dalam    Qalam-Nya  surat Al-Ikhlas ayat pertama : “Katakanlah olehmu : bahwa    Allah itu  yang Maha Esa ( Satu ).
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Bagaimana Dzat dan sifat Allah ?
Maka jawabnya : Tidak boleh membahas Dzat Allah Ta`ala dan     Sifat-sifatnya. Karena meninggalkan pendapat itu sudah termasuk     berpendapat. Membicarakan Zat Allah Ta`ala menyebabkan Syirik. Segala     yang tergores didalam hati anda berupa sifat-sifat yang baru adalah     pasti bukan Allah dan bukan sifatnya.
Orang yang meyakini bahwa Allah adalah  menempel di atas arsy atau   melayang di atas arsy, berjarak dengan arsy,  sama besarnya dengan arsy,   memenuhi arsy atau separuh dari arsy atau  meyakini bahwa Allah lebih   besar dari arsy dari segala arah kecuali arah  bawah atau bahwa Allah   adalah cahaya yang bersinar gemerlapan atau  bahwa Allah adalah benda   yang besar dan tidak berpenghabisan atau  berbentuk seorang yang muda   atau remaja atau orang tua yang beruban,  maka semua orang ini tidak   mengenal Allah.
Kesalahpahaman mereka dalam ilmu tauhid dikarenakan mereka   meninggalkan Aqidatul Khomsin, Lima puluh Aqidah dimana di dalamnya ada   20 sifat yang wajib bagi Allah yang merupakan sarana atau   batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat   dengan tujuan untuk mengenal Allah.
Ilmu tauhid harus diajarkan dan dipahami sejak dini karena jika tidak mengenal Allah yang kita sembah maka boleh jadi sholatnya cuma sampai di sajadah, sedekahnya cuma sampai ke tangan penerima, hajinya cuma   sampai di Mekah, kurbannya cuma sampai di mulut yang memakan atau dengan   kata lain amal ibadahnya tidak sampai kepada Allah.
Al-Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata:
مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ (رَوَاه أبُو نُعَيم
“Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Al-Imam al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:
لاَ تَصِحُّ الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.

Wallahu a'lam bishshawaab

Minggu, 18 November 2012

Kemuliaan Ilmu


Islam amat memuliakan ilmu dan orang yang berilmu amat dihormati. Bahkan islam menuntut umatnya supaya beritiqamah dalam menuntut ilmu. Beristiqamah dalam menuntut ilmu bermaksud belajar secara berterusan. Dalam arti kata lain, belajar sepanjang hayat.

Menuntut ilmu tiada had masa dan sepadan waktu. Kita sebagai umat Islam yang yakin dengan ganjaran pahala daripada Allah perlu merebut ganjaran besar yang ditawarkan oleh allah kepada orang yang beristiqamah dalam menuntut ilmu. Mereka seolah-olah pejuang di jalan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik (yang bermaksud):

“Sesiapa yang keluar (dari rumahnya) untuk menuntut ilmu, dia sebenarnya berada di jalan Allah sehinggalah dia kembali (ke rumahnya).”

Ini adalah satu ganjaran besar kepada orang yang menuntut ilmu dan beristiqamah dalam menuntut ilmu. Sebenarnya tidak ada dalam fahaman Islam istilah berhenti belajar.Bukan sahaja orang jahil yang perlu belajar,bahkan orang ilmu pun perlu terus istiqomah belajar, kerana ilmu amat diperlukan oleh semua manusia. Imam Sufiyan Ibnu Uyaiyah pernah ditanya:

“Siapakah di kalangan manusia yang amat berhajat kepada ilmu? Beliau menjawab: “Orang yang paling alim.” Beliau ditanyanya lagi. “Mengapa?” Jawab Sufiyan: “Kerana kesalahan yang terbit daripada orang alim itu adalah amat buruk.”

Orang yang alim biasanya selalu dirujuk oleh masyarakat. Mereka sering diminta untuk menjelaskan sesuatu hukum. Jika mereka memberikan sesuatu hukum atau pandangan yang silap, ia akan beramal dengan hukum yang salah. Sehubungan itu, Imam Ibnu Abdulbarra yang meriwayatkan daripada Abu Ghassana, berkata:

“Kamu dikira sebagai seorang yang berilmu selama mana kamu belajar. Apabila kamu merasai sudah cukup dengan ilmu, maka kamu pada ketika itu telah menjadi jahil.”

Imam Malik r.a pula telah membuat peringatan kepada orang yang berilmu supaya terus belajar dengan katanya:

“Tidak wajar bagi seorang yang mempunyai ilmu berhenti belajar.”

Jika orang yang berilmu dituntut untuk terus belajar dan mengemaskini ilmu yang mereka miliki, sudah tentu orang yang kurang ilmu pengetahuan lebih dituntut untuk menuntut ilmu. Orang yang jahil tidak boleh berada dalam kejahilan sepanjang hayatnya,sedangkan dia ada jalan untuk keluar daripada kejahilan itu. Apakah dia ingat mati dalam kejahilan? Apakah sepanjang hidupnya sentaisa berpegang dengan sesuatu yang salah?

Oleh itu, untuk menghindarkan diri kita daripada terperangkap dalam kejahilan tentang agama,kita hendaklah   memperuntukkan masa untuk menuntut ilmu fardu ain yang biasanya diadakan di masjid atau surau yang berdekatan dengan kita.

Janganlah kita merasakan bahawa kita sudah pun memiliki keluasan yang tinggi atau pun telah memegang jawatan yang tinggi, maka tidak perlu lagi untuk duduk dalam majlis-majlis ilmu yang dianjurkan di masjid ataupun surau.

Banyak bidang ilmu fardu ain yang perlu kita selesaikan dalam diri kita, sekurang-kurangnya dalam tiga bidang asas, iaitu ilmu yang berkaitan akidah, ibadat dan akhlak. Belajarlah akidah yang menjadi tunggak agama islam sehingga kita dapat kenal Allah dengan sebenar-benarnya,d apat membezakan antara keimanan dan kekufuran,dapat kenal perbuatan syirik dan seumpamanya. Sementara itu fardu ain yang berhubung dengan ibadat pula, pelajarilah ilmu yang berhubung dengan ibadat solat dan puasa sehingga kita yakin amal ibadat kita sah dan diterima oleh Allah s.w.t. Demikianlah juga dengan akhlak atau tasawuf. Kenalilah sifat-sifat mahmudah (sifat terpuji) dan juga sifat mazmumah (sifat yang keji).

Menuntut ilmu fardu ain ini, bukan hanya untuk diri kita sahaja, bahkan diwajibkan juga kepada anak dan isteri kita termasuk orang yang di bawah tanggungan kita. Mereka juga perlu belajar untuk menjadi seorang muslim yang tahu hukum-hukum,perintah dan larangan Allah, bahkan menjadi kewajipan ketua keluarga untuk memastikan ahli keluarganya terselamat daripada kemurkaan Allah. Firman Allah s.w.t yang bermaksud:

“Wahai orang yang beriman!,peliharalah diri kamu dan keluarga kamu daripada api neraka, yang bahan-bahan bakarnya ialah manusia dan batu (berhala), neraka itu dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang keras kasar (layanannya), mereka tidak menderhaka kepada Allah dalam segala yang diperintahkannya kepada mereka dan merela pula tetap melakukan segala yang diperintahkannya.”

Ayat ini merupakan peringatan kepada sekalian umat islam supaya menyelamatkan diri mereka serta keluarga masing-masing daripada bahaya melanggar perintah-perintah allah. Tiap-tiap orang wajib mengetahui serta mengajar anak isteri dan ahli keluarganya dengan ajaran dan adab peraturan Islam supaya ia dan keluarganya terselamat daripada kemurkaaan Allah dan azab-Nya.

Sekiranya seseorang itu tiada kemampuan untuk mengajar ahli keluarganya sama ada disebabkan dia sendiri tidak mengetahuinya atau disebabkan kesibukannya, maka hendaklah dia menghantarkan keluarganya untuk belajar dengan orang lain atau pun membiayai orang yang boleh membimbing ahli keluarganya dengan ilmu fardu ain yang dituntut ke atas setiap orang Islam yang mukallaf.

Amatlah beruntung orang yang istiqomah dalam menuntut ilmu sehingga mereka dapat merasai kemanisan ilmu, merasai kenikmatan dan ketenangan majlis ilmu lantaran oara malaikat menghamparkan sayapnya ketik majlis ilmu sedang berlangsung.Mereka akan memperolehi banyak kelebihan dan keberkatan.Ibnu Abdul Barra pernah menceritakan bahawa saidina Muaz bin Jabal pernah berpesan:

“Tuntutlah ilmu, kerana orang yang menuntut ilmu kerana Allah, akan menjadikannya orang yang takut kepada Allah. Menuntut ilmu adalah ibadat, perbincangan ilmu adalah tasbih, perbahasan mengenainya adalah jihad, mengajar orang yang tidak mengetahui merupakan sedekah…”

Muaz menjelaskan seterusnya:

“Ilmu itu menghidupkan hati yang jahil, sebagai pelita di dalam kegelapan, mengangkat seseorang yang berilmu itu sehingga kepada peringkat orang yang terpilih, darjat yang tertinggi didunia dan akhirat.”

Berfikir tentang ilmu seumpama puasa, berterusan dalam menuntut ilmu seumpama qiamullail, dengan ilmu juga menjadikan seseorang itu mengetahui perkara-perkara yang halal atau pun yang haram.Ilmu umpama imam bagi amal, amal mengikut ilmu,ilmu mengasyikkan orang yang bahagia. Orang yang jahil pula memusuhinya.

Tuntutlah ilmu selagi mana allah masih memberikan kesempatan kepada kita, selagi kita sihat dan berkelapangan. Jadikanlah diri kita orang yang cintakan ilmu, cintakan majlis ilmu, cintakan orang yang berilmu,cinta kepada orang yang cintakan ilmu, Tuntutlah ilmu dan kuasai ilmu,jika mampu, sebarkanlah pula kepada orang lain.Jadikanlah istiqomah sebagai kunci kepada kejayaan,manakala kesungguhan sebagai bekalan.

Mudah-mudahan Allah membukakan hati kita dan hati keluarga kita untuk terus beristiqamah dalam menuntut ilmu, khususnya menyempurnakan ilmu fardu ain. Tidak sempurna ilmu, selagi mana ilmu fardu ain belum dikuasai, biarpun dia seorang pendeta ataupun cendekiawan.

“Katakanlah  lagi (kepada): “Adakah sama orang yang mengetahu dengan orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang dapat mengambil pelajaran dan peringatan hanyalah orang yang berakal sempurna”.  (az-Zumar: 9)

Wallahu a'lam bishshawaab


Rabu, 07 November 2012

Mereka Ingin Memadamkan Cahaya Allah


Ada peringatan-peringatan penting dari Allah Ta’ala yang memberikan semangat dan keteguhan bagi Ummat Islam. Di antaranya Allah Ta’ala berfirman:


وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُوَ يُدْعَى إِلَى الْإِسْلَامِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (7) يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ [الصف : 7 ، 8]

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.

Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS Ash-Shaff/ 61: 7-8).

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala menegaskan pula:


يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ [التوبة : 32]

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (QS At-Taubah/ 9: 32).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, orang-orang kafir yaitu musyrikin dan ahli kitab (Yahudi dan Nasni) ingin memadamkan cahaya (agama) Allah, artinya (ingin memadamkan) apa yang dibawa utusan Allah yaitu petunjuk dan agama yang haq (benar) ingin mereka padamkan dengan bantahan-bantahan dan kebohongan-kebohongan mereka. Maka perumpamaan upaya orang-orang kafir itu seperti orang yang ingin memadamkan sinar matahari atau cahaya rembulan dengan cara meniupnya, ini tidak mungkin. Demikian pula Rasul yang Allah utus dengan agama-Nya pastilah akan sempurna dan tampak. Oleh karena itu dalam hal yang mereka lontarkan dan inginkan, Allah Ta’ala telah berfirman membantah mereka:

{ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ }

dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.

Allah Ta’ala juga berfirman:


إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ [الأنفال/36]

لِيَمِيزَ اللَّهُ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَيَجْعَلَ الْخَبِيثَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَيَرْكُمَهُ جَمِيعًا فَيَجْعَلَهُ فِي جَهَنَّمَ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ [الأنفال/37]

Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan,

supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS Al-Anfal/8: 36,37).

Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah itu sasaran paling utama tentu orang Islam. Sehingga Allah memberitahukan pula bahwa orang Islam memang telah mengalami jadi sasaran dari pihak Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) serta dari orang-orang musyrik berupa gangguan yang tidak mengenakkan, menyakitkan, bahkan memedihkan.

وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ [آل عمران/186]

Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (QS Ali ‘Imran/3: 186).

Imam As-Sa’di dalam Tafsir Taisir Al-Kariim Ar-Rahmaan fi Tafsir Kalam al-Mannan menjelaskan, Dan pastilah kalian akan mendengar, dari orang-orang yang diberi Al-Kitab (yakni Yahudi dan Nasrani) dan kaum musyrikin, gangguan yang banyak berupa tuduhan pada diri kalian juga Rasul kalian. Di antara hikmahnya, agar terlihatlah mana mukmin yang benar keimanannya.

Hal itu karena Allah menghendaki kebaikan bagi mu’minin agar derajat mereka semakin tinggi, kesalahan-kesalahannya diampuni, dan tambah keimanannya.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menghubungkan ayat tersebut dengan ayat;

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/109]

Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya (Maksudnya: keizinan memerangi dan mengusir orang Yahudi ). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Baqarah: 109).


Setelah kita mencermati ayat-ayat suci Firman Allah Ta’ala, dan kenyataan dalam hidup ini sepak terjang mereka yang tujuan akhirnya adalah mengembalikan Ummat Islam kepada kekafiran dan kemusyrikan, maka perlu sekali kita sadari bahwa sebenarnya kita telah dilarang mengikuti mereka. Allah Ta’ala telah memperingatkan dengan tegas:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ [آل عمران/100]

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (QS Ali ‘Imran: 100).


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (149) بَلِ اللَّهُ مَوْلَاكُمْ وَهُوَ خَيْرُ النَّاصِرِينَ (150) سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ [آل عمران/149-151]

149. Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.

150. Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.

151. Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim. (QS Ali ‘Imran: 149, 150, 151).


Upaya mereka dalam mengembalikan Ummat Islam kepada kakafiran dan kemusyrikan itu sifatnya terus menerus, dan sesungguhnya perbuatan mereka itu lebih kejam dibanding pembunuhan. Karena Allah Ta’ala telah menjelaskannya sebagai berikut:

وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ [البقرة/217]

Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah: 217).


Imam Subki berkata, bahwa asal lafal fitnah itu adalah menimpakan bala’ dan ujian, maka tafsiran ayat

وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ

Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh adalah: Dan menimpakan bala’ kepada orang mukmin mengenai agamanya sehingga ia kembali menjadi musyrik kepada Allah setelah Islamnya adalah lebih besar dosanya dan lebih berbahaya daripada membunuh (orang yang) dalam keadaan masih tegak di atas agamanya, memegangi keyakinannya, lagi membenarkannya. Sebagaimana riwayat dari Mujahid (Tabi’ien) dalam Firman Allah Ta’ala

{ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنْ الْقَتْلِ }

Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh, ia berkata: mengembalikan orang mukmin kepada berhala (kemusyrikan) itu lebih besar dosanya daripada membunuh. Dan dari Qatadah, mengenai Firman Allah Ta’ala

{ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنْ الْقَتْلِ }

Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh, ia berkata: Kemusyrikan itu lebih besar dosanya daripada membunuh. (Fatawa As-Subki juz1 halaman 35).


Sekali lagi, ujung dari upaya mereka itu semua adalah mengembalikan Ummat Islam kepada kemusyrikan dan kekufuran. Yang hal itu lebih dahsyat dibanding pembunuhan. Oleh karena itu, kita jangan mengikuti mereka, dan perlu menyadari bahwa itu ujian bagi Ummat Islam agar menjadi nyata bedanya antara mereka yang memusuhi Islam dengan orang beriman yang taat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sehingga bila ketaatan itu bertambah maka akan tambah pula ketinggian derajatnya. Siapa saja yang menghadapi rongrongan dari orang-orang yang memusuhi Islam itu dengan apa saja, telah Allah janjikan pahala kebaikannya. Kebaikan itu takkan disia-siakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ [التوبة/120]

“…dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, (QS At-Taubah/9: 120).

Wallahu álamu bishshawaab