Senin, 02 Desember 2013

DETIK DETIK KARBALA



Detik-Detik Karbala

Syair Imam Husein a.s : 
Jika agama kakekku takkan tegak kecuali dengan jalan harus dibunuhnya aku..? 
Maka, wahai pedang-pedang kaum durjana perangilah aku..! 
Wahai kematian, datanglah dan aku menyongsongmu 
Ketahuilah, batas kehidupan dan kematian adalah semu. 
Aku lindungi keluarga Muhammad SAW darimu 
Aku perangi kalian dengan tanpa ragu dan jemu 
Bagiku kehidupan dan kematian adalah sama 
Kematian sang at indah di mata sang kesatria 
Kehidupan adalah masa di mata sang jawara. 
Kematian pasti datang mencari mangsa 
Celakalah orang yang menjajakan agama demi harta dan tahta 
Celakalah orang yang memerangi 
Marga Thoha di akhirat nanti mereka akan merangkak mengemis iba. 

Di dalam kemah tangisan para putri Nabi SAW semakin menjadi, tak tega melihat putra bungsu Al- Husain As yang berusia 5 bulan menggelepar kehausan, suara tangisannya parau dan lirih. Al- Husain As membawa, mengangkatnya tinggi-tinggi bayi itu agar tampak oleh lawan, memohon secangkir air bagi bayinya, dengan bersabda: ” Hai kaum durjana, kalian biarkan kaum Yahudi dan Nasrani bahkan kuda, anjing dan babi minum di sungai Eufrat. Aku mohon secangkir saja untuk bayi ini…! “ Seorang pasukan lawan menjawab sambil melepaskan anak panahnya: Inilah air kiriman dariku..! Al-Husein As terkejut mendengar tangis bayinya terhenti seketika… Al-Husain As terhentak merasakan cairan hangat mengaliri kepala, wajah, terus turun kebawah, dan ternyata darah..! Bayi itu diturunkannya, sekujur tubuh Al- Husain As menggigil melihat kenyataan yang tak terduga… Bayi itu diletakkan di atas tanah, Al-Husain As mencabut perlahan anak panah yang menancap di leher menembus dada bayinya, memancarlah darahnya, lalu ditadahinya dengan kedua telapak tangannya, dan dilemparkannya ke arah langit sambil berteriak: ” Terimalah persembahan awalku ya Allah…! “ Banyak penulis yang menyaksikan, darah yang dilemparkan kelangit itu, tidak turun kembali ke bumi. [Buku The Saviour oleh Antoane Bara. Inna Lillahi wa inna Ilaihi rojiun Ali Al-Ashghor wafat putra Imam Husain As yang terkecil. Al-Husein As memerintahkan menyerang satu persatu, mulai dari Sahabatnya, saudaranya, semuanya wafat, lalu giliran putranya yang terbesar bernama Ali Akbar. Ali Akbar menyerang dan terus menyerang lalu kembali menemui ayahnya: ” Duhai ayah Rasa haus ini mencekik leherku, kini seakan aku tak mampu lagi memegang pedang, adakah setetes air guna memulihkan tenagaku..? “ ” Berperanglah semampumu nak… Kakekmu menantimu dan telah menyiapkan segelas madu merah dan surga nak…” Ali Akbar menyerang memacu kudanya, lawannya menghujani anak panah yang menancap di sekujur tubuhnya, sebuah tombak menghunjam dilambungnya, Ali Akbar terhuyung di atas kudanya Al- Husein melesat memeluknya agar tidak jatuh terjerembab ke tanah. Dalam pelukan ayahnya, Ali Akbar tersenyum dan bersuara parau: Maafkan aku ayah…. Aku tidak mampu lagi membantumu… Aku sangat mencintaimu ayah…” Bibirnya, sekujur tubuhnya bergetar dalam pelukan ayahnya, lalu Al-Husain mengucapkan:” Inna Lillahi wa Inna Ilaihi rojiun. terimalah persembahan awalku Ya Allah.. ! . Al-Husain berperang tiada lesu dan jemu, pasukan Umar yang licik itu menghujani anak panah yang memenuhi sekujur tubuhnya, hingga Al-HusainAs tiada berdaya lagi, pasukan Umar mengitari, menebas kedua lengannya dengan terbahak- bahak. Al-Husain As berusaha mempertahankan keseimbangan tubuhnya yang tak berlengan, berjalan terhuyung-huyung menuju ke kemah adiknya, tiba- tiba tiga tombak dihunjamkan dan robohlah sang pahlawan Rasulullah SAW itu..! Sy Zainab menutup matanya, lalu membukanya kembali dan terlihat matahari memerah seakan marah, membelalakkan mata seakan murka menyaksikannya, dan terhentak terhenti dari peredarannya, tiada mau masuk keperaduannya. Kemudian datanglah Syimir bin Zil Jauzan dengan beringas bangga sambil terbahak-bahak mencabuti tombak, anak panah dengan kasar, lalu duduk di dada Al-Husain As, yang semakin menyesakkan nafasnya, Al-Husain As dengan nafas yang tersisa bersabda: 
H : Siapakah engkau..? Dan apa yang membuatmu menjadi begitu biadab..? siapakah aku yang kau duduki dadanya ini..? 
S : Aku Syimir dan engkau Husain bin Ali.. 
H : Bila kau tahu, mengapa kau masih berniat membunuhku..? 
S : Aku mengharap imbalan dari khalifah Yazid.. 
H : Tidakkah kau harapkan syafaat dari kakekku..? 
S : Imbalan dari Yazid lebih aku dambakan.. 
H : Sebelum kau bunuh, berilah aku air minum dulu… 
S : Bukankah kakekmu telah menyiapkannya di surga..? 
H : Bukalah penutup wajahmu dan kakekku bersabda: pembunuhku, lelaki berwajah rusak menakutkan dan di sekujur tubuhnya berbulu sangat kasar, hingga tidak memikat babi hutan. 
S : Engkau dan kakekmu sama- sama terkutuk dan akan aku potong pada setiap persendianmu dengan perlahan, sebagai imbalan dari ucapan kakekmu itu…! 
Syimir mulai melucuti persendian jari-jari kaki, tangan Al- Husain As dengan perlahan, pada puncak kegeramannya Syimir menempelkan pedangnya di leher Al-Husain, tetapi pedang Syimir tak dapat melukai leher Al- Husain As, Syimir berganti-ganti pedang, namun lehernya tak tergoreskan, Syimir menekan pedangnya di leher Al-Husain, lalu menggeleng-gelengkan kepala Al-Husain dan tetap saja leher itu tak tergoreskan. Syimir bingung, putus asa, kemudian datang seseorang yang melihatnya berkata: Leher Al-Husain itu selalu diciumi oleh Rasulullah SAW. Syimir membalik, menelungkupkan tubuh Al Husain As yang tak berdaya, Al- Husain mengarahkan pandangannya tertuju kepada sy Zainab adiknya…. Syimir menyembelihnya dari belakang lehernya…. Sy Zainab menjerit, pekikkannya merobek-robek langit. Bersama kewafatan Al- Husein As, mataharipun terjun menenggelamkan dirinya kedalam bumi pada hari Jum’at tanggal 10 Muharram 61 H. Innalillahi wa inna Ilaihi rojiun…. Kudanya datang ke kemah Sy Zainab tanpa penunggangnya penuh dengan luka dan dengan air matanya berbela sungkawa. Di Madinah, setiap sore mengamati air bercampur tanah di dalam botol yang tiba-tiba berubah menjadi darah dan Ummu Salamah ra menjerit menangis mengabarkan kepada orang akan wafatnya Al-Husain As, para Sahabat Nabi SAW menangis melaknat Yazid. Kepala Al-Husain As ditancapkan di ujung tombak diarak dipertontonkan, dibelakangnya barisan keluarga Rasulullah SAW dirantai tangan dan kakinya di giring bagaikan tawanan perang yang dihinakan menuju Kufah hingga ke Syam. Diperjalanan tiba-tiba alam menjadi gelap gulita, pasukan pengawal mengistirahatkan membuka rantai para tawanan, sy Syaharbanu ra keguguran karena kelelahan. Pendeta Bhuhaira tertegun, berjalan menuju sinar yang menjulang kelangit dan diketahuinya pusat sinar itu dari kepala Al- Husain As yang tertancap diujung tombak. Pendeta itu membayar mahal untuk meminjam semalam kepala Al-Husain As. Kepala Al-Husain As dibedirikan perlahan di atas meja, di bersihkannya kepala, wajahnya dari darah bercampur tanah yang melekatinya, mengelapnya dengan kapas dan air hangat, tanpa henti jari jemarinya bergerak lembut, meminyaki dan menyisir rambutnya hingga wajah Al- Husain As bersih ceria. Pendeta Bhuhaira memandanginya, menciumi wajah mulia itu sambil berkata: Aku yakin engkau orang mulia, keturunan orang mulia, salamku untukmu, ayahmu, kakekmu, bila engkau keturunan Ahmad Nabi akhir zaman, sampaikanlah salamku dan katakan aku beriman kepadanya nak… Keluarga Nabi Muhammad SAW yang tersisa akhirnya sampai di Syam dalam keadaan kelelahan tangan, kaki membengkak berdarah karena rantai besi yang diikatkannya. Tawanan disambut senyum kesinisan, tawa penghinaan, kalimat menyakitkan, sesampainya di Syam, kaki, tangan dibuka borgolnya dengan kasar oleh pengawal menampakkan kebencian yang dipamerkan dihadapan tuannya demi harapkan sanjungan dan jasa. Pasukan lemparkan kepala Al- Husain As dengan kasar di lantai, Keluarga Nabi SAW terhentak menyaksikannya oleh deraan kenyataan yang menyakitkan, penguasa tahta kedholiman, Yazid berbicara sambil menginjak kepala Al- Husain As, yang melihatnya pasti akan berkata: Perbuatannya memerihkan mata. Hentakannya menyesakkan dada. Kalimatnya meledakkan kepala. Kata-katanya memekakkan telinga. Nada-nadanya melunglaikan raga Aksinya menjerat jiwa. Kesombongannya mendirikan bulu roma. Beginilah nasib pemburu akherat harus menerima dera nestapa dunia. Saat diinjak, kepala Al-Husain As bersabda: ” Kamu telah memisahkan kepalaku dari tubuhku….” Kepala Al-Husain As dipecutinya hingga diam. [The Saviour: Syarh Al- Qashidah Abi Firas: 148 ]. Ibnu Wakidah mendengar kepala Al-Husain As membaca Surat Al- Kahfi, Ibnu Wakidah ragu dan sangsi bila suara itu keluar dari lisan kepala itu, tiba-tiba beliau berhenti mengaji dan kepala Al- Husain menoleh ke arahnyanya sambil bersabda: ” Hai Ibnu Wakidah.. Tidakkah kamu tahu bahwa kami para Imam selalu hidup dan diberi rizki di sisi Tuhan-Nya..?” Ibnu Wakidah berniat mencuri kepala itu dan menguburkannya, tiba-tiba kepala itu bersabda: ” Hai Ibu Wakidah… Tidak perlu melakukan hal itu, karena perbuatan mereka yang menumpahkan darahku lebih berat di sisi Allah SWT daripada yang membawaku berjalan di ujung tombak, maka biarkanlah, mereka kelak akan mengetahui, saat dibelenggu dengan rantai dileher mereka sambil diseret. [ The Saviour: Syarh Al-Qashidah Abi Firas: 149 ] . Allah SWT berfirman dalam Al- Qur’an QS 2:154 ” Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang- orang yang gugur di Jalan Allah [bahwa mereka itu] mati, bahkan [sebenarnya] mereka itu hidup tetapi kamu tidak menyadarinya. Minhal bin Amr berkata: Aku melihat kepala Al-Husain As di ujung tombak, di depannya ada seorang yang membaca Surat Al-Kahfi hingga sampai pada ayat: ” Dan [yang mempunyai] rahim itu, mereka termasuk tanda- tanda kekuasaan Kami yang mengherankan… ” Kepala itu bersabda dengan bahasa yang fasih: Ada yang lebih mengherankan daripada Ashhabul Kahfi yaitu pembunuhan terhadapku dan membawa kepalaku. The Saviour: Al-Khshalsh As-Suyuthi 2:127 ]. Saat Yazid memerintahkan membunuh seorang utusan kaisar Romawi yang membela Al- Husain tiba-tiba kepala itu bersuara keras: La haula wa la quwwata ilia Billah The Saviour: Magtal Al-Awalim: 151]. Hampir sebulan Yazid terpuaskan dan akhirnya membebaskan. Kafilah suci pergi menuju Karbala guna menyambung jari jemari, betis, lengan disatukan dengan tubuh dan kepalanya, lalu jenazah Al-Husain dishalati dan dimakamkan di Karbala. Kafilah suci lalu pergi menuju Madinah guna melaporkan semua kejadian kepada kakeknya kepada ibunya pertanda tugas suci Sy Zainab telah diselesaikan dengan baik. Sesampainya di Madinah dari Karbala, seluruh keluarga itu mengalami keguncangan yang kesekian kalinya, kali ini ledakan dahsyat dalam hati dan fikiran menyatu dalam perasaan ingin mengadukan kepada kakeknya Rasulullah SAW di pusaranya. Semuanya berlari ingin segera mencapai pusara, di masjid Nabawi, setelah melihat makam kakeknya, tubuh beliau itu terhenti, mendadak bergetar dan lunglai terjatuh di pelataran masjid, beliau tak mampu berdiri lagi dan merangkak menuju pusara Nabi Muhammad SAW guna menguras isi hatinya. Sy Zainab ra membuat acara peringatan Arbain, seluruh penduduk Madinah hadir dan menangisi Al-Husain As. Yazid mendengar dan merasa khawatir lalu bersurat kepada Walid gubernur Madinah, yang kemudian mengusir sy Zainab ra dari Madinah, pergi ke Mesir. Sy Syaharbanu ra istri Imam Husain As menuju kemakam Rasulullah SAW, menangis, mengadu: Benar sabdamu ya Rasulullah bahwa: Ahlul Baitmu padanan Al- Qur’an yang tak dapat dipisahkan. Dahulu di Shiffin pasukan Muawiyah menancapkan AlQur’an di ujung tombak untuk melanggengkan kekuasaannya. Kini di Karbala pasukan Yazid bin Muawiyah menancapkan kepala Husainmu, Ahlul Baitmu diujung tombak pula demi melanggengkan kekuasaannya. Dan sempurnalah kekejian Bani Umaiyah terhadap Bani Hasyim…. Benar sabdamu ya Rasulullah…. Kesyahidan Al-Husain membuat tiara di dalam hati orang orang beriman yang tidak akan pernah padam untuk selama-lamanya. Ya Rasulullah… doakan aku segera menyusulnya… Demi Allah… Aku tak sanggup hidup lagi… Sy Syaharbanu memohon kepada kerabatnya untuk segera membongkar atap rumahnya, sambil menangis Imam Ali Zainal Abidin As bersabda: ZA : ” Duhai ibuku…Bila atap rumah ini dibongkar maka engkau akan wafat oleh sengatan panasnya matahari Bu…” Ibu: ” Aku telah menyaksikan ayahmu selalu terkena sengatan matahari dalam keadaan haus dan lapar dipaksa untuk berperang dan wafat kehausan…. Apakah aku akan lari dari sengatan matahari nak.? Keinginanku segera wafat nak… Dan engkau ku titipkan kepada Allah SWT… Maafkan… maafkan ibu nak… Aku tak dapat melupakan saat ayahmu ditelungkupkan nak… Semoga Allah memberikan ketabahan kepadamu nak.” Semakin lama semakin banyak yang meminangnya, akan tetapi setiap pinangan yang hadir, bagai tusukan duri di hatinya. Setahun kemudian Syaharbanu wafat. Inna Lillahi w a inna Ilaihi rojiun… Kita telah mengetahui sekelumit perjuangan, penderitaan Ahlul Kisa’ As yang sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: ” Tiada penderitaan [ujian] seorang Nabipun seperti penderitaanku dan tiada penderitaan sebuah keluarga pun seperti penderitaan keluargaku. Tiada Zat Semulia Allah SWT Tiada Malaikat semulia Jibril As Tiada Kitab semulia Al-Qur ’an Tiada Nabi semulia Nabi Muhammad SAW Tiada Insan semulia Ahlul Bait As. Al-Hasan dan Al-Husain yang benihnya ditanam oleh Rasulullah SAW dan tunasnya terpelihara di istana ke-Nabian dan di taman ke Imaman hingga berbunga dengan aroma semerbak keharumannya. Harum kebenaran Ilahi di atmosfer akidah Islami. Penyejuk mata dan hati bagi Sang Nabi. Pada suatu hari, Rasulullah SAW naik di atas mimbar dalam keadaan sedih meletakkan telapak tangan kanannya di kepala Al- Hasan dan yang kiri di kepala Al-Husain lalu bersabda: ” Ya Allah…. Sesungguhnya aku adalah hamba dan Rasul-Mu.. dua anak ini adalah keturunanku yang terbaik dan utama yang aku tinggalkan di tengah umatku, Jibril As telah memberitahuku bahwa keduanya akan diburu dan dibunuh dengan racun dan pedang. Ya Allah…. Berkahilah ia dalam kesyahidannya dan jadikanlah dia penghulu para Syuhada…. Rasulullah SAW saat mengimami shalat Isya’ dalam sujudnya sangat lama, setelah shalat Sahabat bertanya mengapa saat sujud tadi sangat lama ya Rasulullah…? Rasul SAW: ” Husain naik dipunggungku, aku biarkan sampai ia turun sendiri…! “ Rasulullah SAW memberikan manisan lebih banyak kepada salah seorang teman Al-Husain As, saat Al-Husain bertanya, maka Rasulullah SAW bersabda: ” Temanmu yang satu itu lebih mencintaimu ya Al-Husain… Pada acara Arbain para penyair dari berbagai daerah bahkan luar negeri berdatangan dengan mempersiapkan syair-syairnya untuk dibaca pada acara tersebut, sangat banyak yang membawakan syairnya secara bergantian, tidak terhitung banyaknya penyair yang pingsan pada saat membaca syairnya itu. Ada seorang pemuda belia yang rupawan naik keatas panggung sambil membawa secarik keatas cukup lama dia berada di atas panggung karena perasaan cintanya kepada Al- Husain As pemuda itu tak mampu berucap pandangan matanya mengarah ke atas tubuh dan bibirnya bergetar dari sela-sela bibirnya keluar suara ” Yaa Husain…” lalu pingsan. Syair pujian Khalil Gibran untuk Imam Husain as: ” Kesyahidan yang dipersembahkan oleh Al- HusainAs mengajarkan kepada manusia bagaimana dari keadaan teraniaya bisa meraih kemenangan.” Mahatma Gandhi yang beragama Hindu dari India: ” Kesyahidan Husain itu mengajarkan kepada jiwa bagaimana ia menyalakan, berinteraksi dengan peristiwa- peristiwa mencerahkan yang utama dan prinsip-prinsip yang luhur, sehingga interaksinya menggoncangkan tabiat, seperti kegoncangan yang jatuh cinta yang kacau pikirannya karena mengingat rupa kekasihnya, kemudian ia mengekalkannya dalam kalam, syair, dan keindahan, hingga catatan itu di abadikan oleh sejarah. Hal itu agar menjadi biografi yang paling kekal bagi kesyahidan yang paling agung ini, dan agar menjadi seindah-indah ucapan untuk sesempurna sempurna bentuknya.”

Selasa, 30 Juli 2013

Pedoman I'tikaf


Cara dan Teladan Nabi Tentang I’Tikaf Pada Malam Bulan Ramadhan
1. Beliau beri’tikaf pd sepuluh hari terakhir bulan ramadhan hingga beliau wafat, pernah beliau meninggalkanya sekali, tetapi kemudian beliau qadha’ pd bulan syawal.
2.  Dan pernah beliau beri’tikaf sekali pd sepuluh hari pertama, kemudian pertengahan, kemudian sepuluh terakhir mencari lailatul qodar, kemudian diketahui olehnya bahwa lailatul qadar ada di sepuluh terakhir, maka beliau senantiasa beri’tikaf hingga menemui Rabb-nya.
3. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak beri’tikaf melainkan dengan berpuasa.
4. Dan pernah beliau memerintahkan agar dibuatkan tenda, lalu dibuat utknya di dalam masjid, beliau menyendiri di dalamnya.
5. Dan jika beliau ingin beri’tikaf, maka beliau shalat fajar kemudian masuk i’tikaf.
6. Dan jika beliau beri’tikaf kasur dan tempat tidurnya dibawa bersamanya di tempat i’tikaf, dan beliau masuk kubahnya sendirian.
7. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak masuk rumahnya kecuali karena kebutuhan insaniyah.
8. Beliau pernah memasukan kepalanya ke kamar Aisyah, lali ia menyisir (rambut) beliau r, dan dia radhiyallahu ‘anha  sedang haid.
9. Dan sebagian istrinya menjenguknya saat beliau sedang beri’tikaf, dan jika istrinya berdiri utk beranjak pergi, beliau berdiri bersamanya mengantarnya pergi, dan hal itu di waktu malam.
10. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak menggauli seorang pun dari istrinya saat beri’tikaf, tidak dengan ciuman dan tidak juga dengan lainya.
11. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam beri’tikaf dalam sepuluh hari dalam setahun, dan pd tahun beliau meninggal, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.

http://bank.my.id/cara-dan-teladan-nabi-tentang-itikaf-pada-malam-bulan-ramadhan.htm



I'TIKAF, MASJID, PANDUAN, RAMADHAN
Panduan I’tikaf di Masjid

Diantara rangkaian ibadah-ibadah dalam bulan suci Ramadhan yang sangat dipelihara sekaligus diperintahkan (dianjurkan) oleh Rasulullah SAW adalah i’tikaf. setiap muslim dianjurkan (disunnatkan) untuk beri’tikaf di masjid, terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. I’tikaf merupakan sarana meditasi dan kontemplasi yang sangat efektif bagi muslim dalam memelihara keislamannya khususnya dalam era globalisasi, materialisasi dan informasi kontemporer.

Definisi I’tikaf
Para ulama mendefinisikan i’tikaf yaitu berdiam atau tinggal di masjid dengan adab-adab tertentu, pada masa tertentu dengan niat ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT . Ibnu Hazm berkata: I’tikaf adalah berdiam di masjid dengan niat taqorrub kepada Allah SWT pada waktu tertentu pada siang atau malam hari. (al Muhalla V/179)

Hukum I’tikaf
Para ulama telah berijma’ bahwa i’tikaf khususnya 10 hari terakhir bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnatkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. A’isyah, Ibnu Umar dan Anas ra meriwayatkan: “Adalah Rasulullah SAW beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” (HR. Bukhori & Muslim) Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, kecuali pada tahun wafatnya beliau beri’tikaf selama 20 hari. Demikian halnya para shahabat dan istri beliau senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata: “Sepengetahuan saya tak seorang pun ulama mengatakan i’tikaf bukan sunnat”.

Fadhilah ( keutamaan ) I’tikaf
Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukan anda hadits yang menunjukkan keutamaan I’tikaf? Ahmad menjawab : tidak kecuali hadits lemah. Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah I’tikaf itu sendiri sebagai taqorrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keuatamaanya bahwa Rasulullah SAW, para shahabat, para istri Rasulullah SAW dan para ulama’ salafus sholeh senantiasa melakukan ibadah ini.

Macam-macam I’tikaf
I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam; satu sunnah, dan dua wajib. I’tikaf sunnah yaitu yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk bertaqorrub kepada Allah SWT seperti i’tikaf 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dan I’tikaf yang wajib yaitu yang didahului dengan nadzar (janji), seperti : “Kalau Allah SWT menyembuhkan sakitku ini, maka aku akan beri’tikaf.

Waktu I’tikaf
Untuk i’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan , sedangkan i’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan juga bisa singkat. Ya’la bin Umayyah berkata: ” Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk i’tikaf”.

Syarat-syarat I’tikaf
Orang yang i’tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
1. Muslim.
2. Berakal
3. Suci dari janabah (junub), haidh dan nifas.
Oleh karena itu i’tikaf tidak diperbolehkan bagi orang kafir, anak yang belum mumaiyiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.

Rukun-rukun I’tikaf
1. Niat (QS. Al Bayyinah : 5), (HR: Bukhori & Muslim tentang niat)
2. Berdiam di masjid (QS. Al Baqoroh : 187)
Disini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat i’tikaf . Sebagian ulama membolehkan i’tikaf disetiap masjid yang dipakai shalat berjama’ah lima waktu. Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan shalat jama’ah setiap waktu. Ulama lain mensyaratkan agar i’tikaf itu dilaksanakan di masjid yang dipakai buat shalat jum’at, sehingga orang yang i’tikaf tidak perlu meninggalkan tempat i’tikafnya menuju masjid lain untuk shalat jum’at. Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi’iyah bahwa yang afdhol yaitu i’tikaf di masjid jami’, karena Rasulullah SAW i’tikaf di masjid jami’. Lebih afdhol di tiga masjid; masjid al-Haram, masjij Nabawi, dan masjid Aqsho.

Awal dan akhir I’tikaf
Khusus i’tikaf Ramadhan waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke 21. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : ” Barangsiapa yang ingin i’tikaf dengan ku, hendaklah ia beri’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan (HR. Bukhori). 10 (sepuluh) disini adalah jumlah malam, sedangkan malam pertama dari sepuluh itu adalah malam ke 21 atau 20. Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, kalau i’tikaf dilakukan 10 malam terakhir, yaitu setelah terbenam matahari, hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menuggu sampai shalat ied.

Hal-hal yang disunnahkan waktu i’tikaf
Disunnahkan agar orang yang i’tikaf memperbanyak ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT , seperti shalat, membaca al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi SAW, do’a dan sebagainya. Termasuk juga didalamnya pengajian, ceramah, ta’lim, diskusi ilmiah, tela’ah buku tafsir, hadits, siroh dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama meninggalkan segala aktifitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah.

Hal-hal yang diperbolehkan bagi mu’takif (orang yang beri’tikaf)
1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhori Muslim)
2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
3. Keluar dari tempat keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluanya .
4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.

Hal-hal yang membatalkan I’tikaf
1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan salah satu rukun i’tikaf yaitu berdiam di masjid.
2. Murtad ( keluar dari agama Islam ) (QS. 39: 65)
3. Hilangnya akal, karena gila atau mabuk
4. Haidh
5. Nifas
6. Berjima’ (bersetubuh dengan istri) (QS. 2: 187). Akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.
7. Pergi shalat jum’at ( bagi mereka yang membolehkan i’tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat jum’at)

I’tikaf bagi Muslimah
I’tkaf disunnahkan bagi wanita sebagaimana disunnahkan bagi pria. Selain syarat-syarat yang disebutkan tadi, i’tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat lain sbb:
1. Mendapat izin (ridlo) suami atau orang tua. Hal itu disebabkan karena ketinggian hak suami bagi istri yang wajib ditaati, dan juga dalam rangka menghindari fitnah yang mungkin terjadi.
2. Agar tempat i’tikaf wanita memenuhi kriteria syari’at.
Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syarat i’tikaf adalah masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang dapat dipakai wanita beri’tikaf. Tetapi yang lebih afdhol- wallahu ‘alam- ialah tempat shalat di rumahnya. Oleh karena bagi wanita tempat shalat dirumahnya lebih afdhol dari masjid wilayahnya. Dan masjid di wilayahnya lebih afdhol dari masjid raya. Selain itu lebih seiring dengan tujuan umum syari’at Islamiyah, untuk menghindarkan wanita semaksimal mungkin dari tempat keramaian kaum pria, seperti tempat ibadah di masjid. Itulah sebabnya wanita tidak diwajibkan shalat jum’at dan shalat jama’ah di masjid. Dan seandainya ke masjid ia harus berada di belakang. Kalau demikian, maka i’tikaf yang justru membutuhkan waktu lama di masjid , seperti tidur, makan, minum, dan sebagainya lebih dipertimbangkan. Ini tidak berarti i’tikaf bagi wanita tidak diperboleh di masjid. Wanita bisa saja i’tikaf di masjid dan bahkan lebih afdhol apabila masjid tersebut menempel dengan rumahnya, jama’ahnya hanya wanita, terdapat tempat buang air dan kamar mandi khusus dan sebagainya. Wallahu ‘alam.

http://4rss.wordpress.com/2008/09/18/panduan-itikaf-di-masjid/


TATA CARA I'TIKAF MENURUT SUNNAH RASULULLAH SAW

Beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sering dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mencari keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan, khususnya malam mulia yang utama (lailatul-qadri). Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian para istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.” (Muttafaq ‘alaih)

I’tikaf memiliki adab-adab yang menentukan sah dan sempurnanya i’tikaf, termasuk kapan mulainya dan kapan berakhirnya, berikut amalan-amalan apa saja yang dikerjakan selama i’tikaf.

Barangsiapa berniat untuk melaksanakan sunnah ini hendaklah memulai i’tikaf dengan masuk ke masjid tempat i’tikaf sejak terbenamnya matahari di malam ke-21 Ramadhan, karena sepuluh hari terakhir Ramadhan dimulai ketika terbenam matahari di malam ke-21 Ramadhan. Jika dia menyiapkan tenda (kemah) di salah satu bagian masjid sebagai tempat menyendiri selama i’tikaf -dan ini hukumnya sunnah- hendaklah masuk ke dalam tenda (kemah itu setelah shalat shubuh. Dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulai i’tikaf di masjidnya ketika terbenam matahari di awal malam ke-21. Namun beliau baru menyendiri (masuk) di dalam tenda yang telah disiapkan untuk dirinya setelah shalat shubuh, berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan melakukan i’tikaf, beliau menunaikan shalat Fajar (shubuh), kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Ini adalah mazhab empat imam (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad) serta jumhur (mayoritas) ulama yang dirajihkan (dikuatkan) oleh al-Imam Ibnu ‘Utsaimin, dan inilah pendapat yang rajih.

Selama beri’tikaf hendaklah memerhatikan adab-adab berikut:

1. Tidak melakukan jima’ (senggama), berdasarkan ayat i’tikaf:

“Janganlah kalian menggauli istri-istri itu, sedangkan kalian beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah: 187)

Hal ini hukumnya haram dan membatalkan i’tikaf, baik dilakukan di masjid maupun di luar masjid (rumah). Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkannya secara khusus pada i’tikaf, padahal pada asalnya halal di luar i’tikaf. Jima’ diharamkan dalam i’tikaf karena bertentangan dengan tujuan i’tikaf.

2. Tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan i’tikaf, seperti keluar untuk bersenggama dengan istri di rumah, keluar untuk menekuni pekerjaannya, ataupun melakukan profesinya di tempat i’tikafnya [1], keluar untuk bertransaksi jual-beli, ataupun melakukan transaksi jual-beli di masjid, dan semisalnya. Apabila hal itu dilakukan maka i’tikafnya batal, meskipun ia telah mempersyaratkan akan melakukannya saat berniat melakukan i’tikaf, karena hal-hal tersebut bertentangan dengan tujuan i’tikaf. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Kalau memang ia butuh untuk bekerja (melakukan profesinya), jangan beri’tikaf.”

3. Tidak keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan yang tidak bersifat harus dilakukan. Adapun keluar untuk urusan yang bersifat harus dilakukan, hal itu boleh. Urusan tersebut meliputi hal-hal yang bersifat tabiat manusiawi seperti kebutuhan buang hajat dan makan minum, atau yang bersifat aturan syariat seperti wudhu, mandi janabah, dan shalat Jum’at. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak ada khilaf tentang bolehnya seseorang yang beri’tikaf keluar dari masjid untuk suatu urusan yang harus dilakukan.” Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang beri’tikaf, beliau biasanya tidak masuk rumah kecuali untuk suatu hajat (pada riwayat Muslim: untuk hajat manusiawi).” (Muttafaq ‘alaih)

Juga hadits ‘Aisyah yang mauquf (dinisbatkan kepada ‘Aisyah sebagai perbuatannya) yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya pada “Kitab al-Haidh”:

“Adalah aku (jika sedang beri’tikaf) biasa masuk rumah untuk suatu hajat, padahal di dalam rumah ada orang sakit. Aku tidak menanyakan keadaannya kecuali sambil lewat saja.” [2]

Oleh karena itu, tidak boleh keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan ketaatan yang bersifat sunnah, seperti menjenguk orang sakit dan mengantarkan jenazah, menurut pendapat yang rajih. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin, kecuali jika jelas baginya bahwa tidak ada yang mengurusi orang sakit tersebut selain dirinya -sedangkan kondisi sakitnya telah kritis- atau jika tidak ada yang bisa mengurusi jenazah tersebut selain dirinya, hal ini diperbolehkan. Sebab, pada kondisi itu hukumnya menjadi wajib atas dirinya. Jika ia keluar untuk suatu urusan yang harus dilakukannya, maka tidak boleh berlama-lama lebih dari hajatnya itu. Jika ia berlama-lama lebih dari hajatnya tersebut, maka i’tikafnya batal sebagaimana batalnya i’tikaf jika keluar untuk urusan yang tidak bersifat wajib meskipun hanya sebentar, menurut pendapat empat imam mazhab.

4. Disunnahkan menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah khusus, seperti shalat sunnah mutlak di waktu-waktu yang tidak terlarang, membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, serta beristighfar. Secara khusus, sepuluh malam terakhir Ramadhan dihidupkan dengan shalat tarawih. Inilah inti dan tujuan i’tikaf, untuk mengkhususkan diri dengan ibadah-ibadah tersebut. Itulah sebabnya pelaksanaan i’tikaf dibatasi harus di masjid.

5. Disunnahkan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun yang lainnya.

6. Tidak mengapa baginya untuk berbicara sebatas hajat dan berbincang-bincang dengan orang lain dalam batas yang dibolehkan dalam syariat, baik secara langsung maupun melalui telepon, selama hal itu masih dalam masjid tempat beri’tikaf. Demikian pula, tidak mengapa untuk dikunjungi kerabat atau temannya di tempat i’tikafnya serta berbincang-bincang sejenak dan tidak lama. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Shafiyyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha, salah seorang istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim (Muttafaqun ‘Alaih) tentang kedatangannya mengunjungi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari saat beliau melakukan i’tikaf, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri bersamanya dan mengantarkannya pulang ke rumahnya. [3]

Selanjutnya, i’tikaf berakhir ketika terbenam matahari di malam ‘Id dan tidak disyariatkan menunggu esok harinya hingga menjelang shalat ‘Id. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama serta Ibnu Hazm.

Catatan kaki:

[1] Seperti menjahit atau yang lainnya.

[2] Adapun periwayatan hadits ini secara marfu’ (dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud merupakan riwayat yang dha’if (lemah), sebab dalam sanadnya terdapat rawi yang lemah bernama Laits bin Abi Sulaim.

[3] Adapun keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari masjid untuk mengantarkan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha, dibawa kepada pemahaman bahwa hal itu merupakan keharusan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukannya, karena peristiwa itu di malam hari sehingga beliau khawatir jika membiarkannya pulang sendiri.


Oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini al-Makassari
Sumber: Majalah Asy Syariah, no. 63/VI/1431 H/2010, hal. 74-76.

http://saidaneffendi-darussalam.blogspot.com/2011/08/tata-cara-itikaf-menurut-sunnah.html


Panduan I'tikaf Ramadhan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ada suatu amalan di bulan Ramadhan yang mesti kita ketahui bersama demi meraih banyak pahala di bulan tersebut. Amalan tersebut adalah i'tikaf. Bagaimanakah tuntunan Islam dalam menjalankan i'tikaf  di bulan Ramadhan? Berikut panduan ringkas yang semoga bermanfaat bagi para pengunjung rumaysho.com sekalian. Semoga Allah senantiasa memberkahi.

I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri'tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri'tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”. [8]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ - قَالَ - فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i'tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa'id) berkata: Kemudian 'Aisyah radhiyallahu 'anha meminta izin untuk bisa beri'tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri'tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]

Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]

Yang Membatalkan I’tikaf

Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
Mandi dan berwudhu di masjid.
Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ - قَالَ - فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i'tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa'id) berkata: Kemudian 'Aisyah radhiyallahu 'anha meminta izin untuk bisa beri'tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

Adab I’tikaf

Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan


[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.

[2] Al Mughni, 4/456.

[3] HR. Bukhari no. 2044.

[4] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.

[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338

[6] Fathul Bari, 4/271.

[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.

[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.

[9] Fathul Bari, 4/271.

[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.

[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.

[12] Lihat Al Mughni, 4/462.

[13] Al Mugni, 4/461.

[14] HR. Bukhari no. 2041.

[15] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.

[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.

[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.

[18] Idem.

[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.

[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.

[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.

[22] Al Inshof, 6/17.

[23] Fathul Bari, 4/272.

[24] HR. Bukhari no. 2041.

[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.


http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3127-panduan-itikaf-ramadhan.html



Panduan Ramadhan (Bagian 15): Tuntunan I'tikaf Ramadhan - See more at: http://yufid.tv/itikaf-10-hari-terakhir-ramadan/#sthash.8jSFXhpy.dpuf

http://yufid.tv/itikaf-10-hari-terakhir-ramadan/



Panduan I’tikaf Lengkap

TA’RIEF (DEFINISI) I’TIKAF
Ditinjau dari segi bahasa: I’tikaf bermakna :berdiam di suatu tempat untuk melakukan sesuatu pekerjaan ; yang baik maupun yang buruk dan tetap dalam keadaan demikian.

Adapun pengertian i’tikaf menurut istilah adalah berdiam di masjid dalam rangka ibadah dari orang yang tertentu, dengan sifat atau cara yang tertentu dan pada waktu yang tertentu (Lihat Fathul Bari 4 : 344)

DALIL-DALIL DISYARIATKANNYA I’TIKAF
Firman Allah سبحانه وتعلى
وَلاَ تُـبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْـتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ البقرة : 187

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(QS. Al Baqarah : 187)

dalam hadits ‘Aisyah رضي الله عنها berkata :

“Adalah Nabi صل اللة عليه وسلم beri’tikaf sepuluh akhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah سبحانه وتعلى”. (HR. Bukhari dan Muslim)

HUKUM I’TIKAF
A. Telah sepakat ulama kita bahwa hukum asal dari i’tikaf adalah sunnah, bahkan Imam Ibnu ‘Arabi Al Maliki dan Ibnu Baththal رحمهما الله memasukkannya ke dalam sunnah muakkadah (yang dikuatkan) karena Rasulullah صل اللة عليه وسلم tidak pernah meninggalkannya selama hidupnya.

Dan hukum asal ini berubah menjadi wajib jika seseorang bernazar untuk melakukannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar رضي الله عنه bahwasanya beliau pernah bernazar untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, maka Rasulullah صل اللة عليه وسلم bersabda :

أَوْفِ بِنَذْرِكَ

“Tunaikan nazarmu itu”. HR. Bukhari dan Muslim

B. Hukum i’tikaf ini berlaku baik untuk muslim ataupun muslimah sebagaimana yang kabarkan oleh Shafiyyah رضي الله عنها ketika beliau menziarahi Nabi صل اللة عليه وسلم pada saat i’tikaf :

“Adalah Nabi صل اللة عليه وسلم (beri’tikaf) di masjid dan di sisinya terdapat istri-istri beliau (sedang beri’tikaf pula)…”. HR. Bukhari dan Muslim

Al Imam Ibnul Mundzir رحمه الله berkata: “Perempuan tidak boleh beri’tikaf hingga dia meminta izin kepada suaminya dan jika perempuan itu beri’tikaf tanpa izin maka suaminya boleh mengeluarkannya (dari i’tikaf). Dan jika seorang suami telah mengizinkan (istrinya) lalu mau mencabut izinnya maka hal itu dibolehkan baginya”. (Lihat Fathul Bari 4 : 351)

FADHILAH (KEUTAMAAN) I’TIKAF
Adapun fadhilahnya maka i’tikaf mempunyai beberapa keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah lainnya, diantaranya:

1.I’tikaf merupakan wasilah (cara) yang digunakan oleh Nabi صل اللة عليه وسلم untuk mendapatkan malam Lailatul Qadr

2.Orang yang melakukan i’tikaf akan dengan mudah mendirikan shalat fardhu secara kontinu dan berjamaah bahkan dengan i’tikaf seseorang selalu beruntung atau paling tidak berpeluang besar mendapatkan shaf pertama pada shalat berjama’ah

3.I’tikaf juga membiasakan jiwa untuk senang berlama-lama tinggal dalam masjid, dan menjadikan hatinya terpaut pada masjid

4.I’tikaf akan menjaga puasa seseorang dari perbuatan-perbuatan dosa. Dia juga merupakan sarana untuk menjaga mata dan telinga dari hal-hal yang diharamkan

5. Dengan I’tikaf membiasakan hidup sederhana, zuhud dan tidak tamak terhadap dunia yang sering membuat kebanyakan manusia tenggelam dalam kenikmatannya.

WAKTU I’TIKAF
I’tikaf boleh dikerjakan kapan saja, namun lebih ditekankan pada bulan Ramadhan, karena itulah yang sering dilakukan oleh Rasulullah صل اللة عليه وسلم. Dan lebih utama dikerjakan pada sepuluh akhir Ramadhan untuk mendapatkan Lailatul Qadr sebagaimana yang ditunjukkan hadits Abu Sa’id Al Khudri رضي الله عنه .

I’tikaf yang wajib harus dikerjakan sesuai jumlah hari yang telah dinazarkan, sedangkan i’tikaf yang sunnah tidak ada batasan maksimalnya dan hal ini disepakati oleh keempat ulama madzhab, dan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal ketika beri’tikaf hal ini berdasarkan atsar dari Umar رضي الله عنه dimana beliau mengabarkan kepada Nabi صل اللة عليه وسلم tentang nazar beliau untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, lalu Rasulullah صل اللة عليه وسلم memerintahkan kepadanya untuk menunaikan nazarnya. Imam Nawawi رحمه الله mengatakan : “Boleh seseorang beri’tikaf sesaat dan dalam waktu yang singkat…”. )Al Minhaj 8 : 307)

Telah ikhtilaf ulama kita tentang kapan awal masuknya seseorang yang mau beri’tikaf ke dalam masjid. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang memulai i’tikaf hendaknya memasuki masjid sebelum matahari terbenam. Pendapat yang kedua mengatakan, bahwa i’tikaf baru dimulai sesudah shalat shubuh, berdasarkan hadits ‘Aisyah رضي الله عنها:

“Adalah Nabi صل اللة عليه وسلم jika hendak beri’tikaf, beliau shalat shubuh kemudian masuk ke (mu’takaf) tempat i’tikafnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini dipegangi oleh Al Auza’iy, Al Laits dan Ats Tsauri serta dipilih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Imam Ash Shon’ani – رحمهم الله –

Dari dua pendapat yang ada maka yang paling dekat dengan dalil adalah pendapat yang kedua, yaitu masuk sesudah shalat shubuh, namun pendapat yang pertama lebih berhati-hati. Wallahu A’lam.

SYARAT-SYARAT I’TIKAF
Orang yang beri’tikaf memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhinya yaitu:
Seorang muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan yang baik dan buruk),berakal, dan suci dari janabat, haidh, serta nifas.

RUKUN-RUKUN I’TIKAF

1. Niat, karena tidak sah suatu amalan melainkan dengan niat.

2. Tempatnya harus di masjid. Dalilnya firman Allah سبحانه وتعلى yang artinya:

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid” (QS. Al Baqarah : 187)
Keharusan beri’tikaf di masjid ini berlaku pula untuk wanita, dalam hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama bahwa wanita tidak sah beri’tikaf di masjid rumahnya karena tempat itu tidaklah dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang shahih menerangkan bahwa istri-istri Nabi صل اللة عليه وسلم melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.

Dan berkata Al Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- tentang i’tikafnya istri-istri Nabi صل اللة عليه وسلم di masjid : “Hal ini menunjukkan disyariatkannya i’tikaf di masjid, karena seandainya tidak, tentu para istri-istri Nabi صل اللة عليه وسلم akan beri’tikaf di rumah-rumah mereka karena mereka telah diperintahkan untuk berlindung atau berdiam di rumah”. (Fathul Bari 4 : 352)

MASJID YANG SAH DIPAKAI I’TIKAF
Para ulama telah berikhtilaf tentang syarat masjid yang sah untuk di gunakan i’tikaf namun diantara pendapat-pendapat yang ada maka pendapat yang pertengahan dan paling dekat dengan kebenaran adalah I’tikaf harus dilaksanakan di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah padanya karena shalat berjama’ah bagi laki-laki hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan atsar ‘Aisyah رضي الله عنها yaitu:

“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah”. (HR. Ad Daraqutni dan Al Baihaqi)

Pendapat ini dipegangi pengikut madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad serta perkataan Hasan Al Bashri dan ‘Urwah bin Zubair رحمهم الله . Ibnu Qudamah رحمه الله menjelaskan:“Disyaratkannya i’tikaf di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah, karena shalat jama’ah itu wajib, dan ketika seseorang beri’tikaf di masjid yang tidak dilaksanakan shalat jama’ah akan mengakibatkan salah satu dari dua hal : meninggalkan shalat jama’ah yang merupakan kewajiban, yang kedua keluar untuk shalat di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah dan hal ini akan sering berulang padahal masih mungkin untuk menghindarinya, dan sering keluar dari tempat i’tikaf itu bertentangan dengan maksud/tujuan i’tikaf …”. (Al Mughni 4 : 461)

Jika seseorang i’tikaf di masjid jama’ah yang tidak dilaksanakan shalat Jum’at maka pada hari Jumat wajib atasnya untuk keluar shalat Jum’at dan i’tikafnya tidak batal karena dia keluar disebabkan udzur yang dibenarkan syariat dan hal tersebut hanya sekali dalam sepekan, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Said bin Jubair, Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakhaaiy, Imam Ahmad, Ibnul Mundzir, Dawud Azh Zhohiri, Ibnu Qudamah, dan lain-lain رحمهم الله .

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN I’TIKAF

1. Jima’ (bersetubuh/ bersenggama).
Dalilnya firman Allah سبحانه وتعلى yang artinya:

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(QS. Al Baqarah : 187)

2. Murtad.

3. Hilang akal

4. Haidh dan Nifas

5. Keluar dari masjid tanpa hajat yang dibolehkan, walaupun hanya sebentar. Keluar dari masjid membatalkan i’tikaf karena tinggal di masjid adalah rukun i’tikaf.

ADAB-ADAB I’TIKAF
Ada beberapa adab yang hendaknya seseorang yang beri’tikaf memperhatikannya dan berusaha untuk melaksanakannya. Diantara adab-adab tersebut adalah :

1. Memperbanyak ibadah-ibadah sunnah yang mendekatkan dirinya kepada Allah سبحانه وتعلى.

2.Membuat bilik-bilik di masjid untuk digunakan berkhalwat sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi صل اللة عليه وسلم , terutama jika ada wanita yang ikut beri’tikaf, maka wajib atas wanita untuk membuat bilik-bilik tersebut agar terhindar dari ikhtilat (bercampur) dan saling pandang-memandang dengan lawan jenis.

3.Meninggalkan perdebatan dan pertengkaran walaupun dia berada di pihak yang benar

4.Juga hendaknya menghindari dari mengumpat, berghibah, dan berkata-kata yang kotor, karena hal-hal tersebut terlarang di luar i’tikaf maka pelarangannya bertambah pada saat i’tikaf.

5.Dan secara umum seluruh perbuatan dan perkataan yang tidak bermanfaat hendaknya ditinggalkan, karena semua hal itu akan mengurangi pahala beri’tikaf

HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN SEWAKTU I’TIKAF
1. Keluar untuk suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.
Dalilnya hadits Aisyah رضي الله عنها ia berkata :

“Dan adalah Rasulullah صل اللة عليه وسلم jika sedang beri’tikaf di masjid, kadang beliau memasukkan kepalanya maka saya menyisirnya dan adalah beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena kebutuhan yang manusiawi”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Malik رحمه الله berkata : “Tidaklah seseorang dikatakan beri’tikaf hingga dia meninggalkan hal-hal yang harus dia tinggalkan seperti menjenguk orang sakit, shalat jenazah, dan masuk ke rumah kecuali ada hajat insan

Imam Az Zuhri رحمه الله menafsirkan hajat insan (kebutuhan yang manusiawi) sebagai kencing dan buang air besar, dan kedua hal ini merupakan ijma’ tentang bolehnya keluar masjid disebabkan kedua hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir رحمه الله.

2.Menyisir rambut, mencukurnya, memotong kuku dan membersihkan badan dari berbagai kotoran”.(Lihat :Ma’alim As Sunan 2 : 578)
3. Membawa kasur dan perlengkapan lainnya ke masjid.

4. Menerima tamu dan mengantarkannya hingga ke pintu masjid. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah صل اللة عليه وسلم ketika beliau diziarahi oleh istri beliau Shofiyyah .

5. Makan dan minum di dalam masjid dengan tetap memelihara dan menjaga kebersihan dan kemuliaan masjid.

KHATIMAH
Seseorang yang berniat untuk beri’tikaf hendaknya mempertimbangkan maslahat dan mudharat. Jika dia adalah seorang pemuda yang sangat dibutuhkan oleh orang tuanya maka hendaknya dia mendahulukan hak orang tuanya karena hal tersebut wajib, namun jika dia diizinkan untuk beri’tikaf maka itulah yang utama. Demikian pula dengan orang yang bekerja di bidang jasa dan kepentingan masyarakat umum hendaknya mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi dan sungguh Allah سبحانه وتعلى Maha Mengetahui apa yang diniatkan oleh hamba-hamba-Nya.

Adapun bagi mereka yang Allah سبحانه وتعلى muliakan dengan memberikan kesempatan untuk beri’tikaf di tahun ini hendaknya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, raihlah hikmah dan faidah i’tikaf, perhatikanlah adab-adabnya serta jauhkanlah dari hal-hal yang terlarang dan janganlah menjadi orang yang i’tikafnya tidak ubahnya dari sekedar berpindah tempat tidur saja. Mudah-mudahan dengan i’tikaf ini anda bisa mendapatkan malam yang lebih mulia dari seribu bulan : “Lailatul Qadr”. (Al Fikrah)

www.wahdah.or.id

http://www.belajarislam.com/panduan-i%E2%80%99tikaf-lengkap/


Rabu, 10 Juli 2013

Dalil-dalil Tentang Puasa Ramadhan


Dalil-dalil tentang kewajiban puasa Ramadhan sangatlah banyak dalam nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’âla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ. شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka, barang siapa di antara kalian sakit atau berada dalam perjalanan (lalu berbuka), (dia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Wajib bagi orang-­orang yang berat menjalankannya, (jika mereka tidak berpuasa), membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan dengan kerelaan hati, itulah yang lebih baik baginya. Berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan-­penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Oleh karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah ia ber­puasa pada bulan itu, dan barangsiapa yang sakit atau berada dalam perjalanan (lalu berbuka), (dia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggal­kan itu pada hari-hari yang lain. Allah meng­hendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak meng­hendaki kesukaran bagi kalian. Hendaklah kalian mencukupkan bilangan (bulan) itu dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberi­kan kepada kalian supaya kalian bersyukur.” [Al-Baqarah: 183-185]
Dalam hadits Abdullah bin Umar riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa puasa adalah salah satu rukun Islam yang agung dan mulia,
بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima (perkara, pondasi): Syahadat Lâ Ilâha Illallâh wa Anna Muhammadan ‘Abduhu wa Rasûluhu, mendirikan shalat, me­ngeluarkan zakat, berhaji ke Rumah Allah, dan berpuasa Ramadhan.”
Juga dalam hadits Thalhah bin Ubaidullah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, ketika seorang A’raby bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang Islam, beliau bersabda,
خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِى الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ . فَقَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهُنَّ قَالَ : لاَ. إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ وَصِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ . فَقَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهُ فَقَالَ : لاَ. إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ . وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّكَاةَ فَقَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهَا قَالَ : لاَ. إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ . قَالَ فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لاَ أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلاَ أَنْقُصُ مِنْهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ .
“Shalat lima waktu (diwajibkan) dalam sehari dan semalam.” Maka, ia berkata, “Apakah ada kewajiban lain terhadapku?” Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali hanya ibadah sunnah. Juga puasa Ramadhan.” Maka, ia berkata, “Apakah ada kewajiban lain terhadapku?” Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali hanya ibadah sunnah,” dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menyebutkan (kewajiban) zakat terhadapnya. Maka, ia berkata, ‘Apakah ada kewajiban lain terhadapku?’ Beliau menjawab, ‘Tidak ada, kecuali hanya ibadah sunnah.” Kemudian, orang tersebut pergi seraya berkata, “Demi Allah, saya tidak akan menambah di atas hal ini dan tidak akan menguranginya.’ Maka, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ia telah beruntung apabila jujur.’.”
Selain itu, hadits yang semakna dengan ini diriwayatkan pula oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, dan diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Jâbir bin Abdillah radhiyallâhu ‘anhumâ.
Selanjutnya, dalil lain terdapat dalam hadits Umar bin Khaththab radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim ,dan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, tentang kisah Jibril yang masyhur ketika beliau bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang Islam, Iman, Ihsan, dan tanda-tanda hari kiamat. Ketika ditanya tentang Islam, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً.
“Islam adalah bahwa engkau bersaksi bahwa tiada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, engkau menegak­kan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, serta berhaji ke rumah (Allah) bila engkau sanggup menempuh jalan untuk itu.”
Berdasarkan dalil-dalil di atas, para ulama bersepakat bahwa siapapun yang mengingkari kewajiban puasa dianggap kafir, keluar dari Islam, dan dianggap telah mengingkari suatu perkara, yang kewajibannya telah dimaklumi secara darurat dalam syariat Islam.
Seluruh dalil di atas menunjukkan keuta­maan puasa yang sangat besar dan menunjukkan bahwa betapa agung nikmat dan rahmat Allah bagi umat Islam.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan Rasul-Nya telah menjelaskan berbagai macam keutamaan puasa secara umum dan keutamaan puasa Ramadhan se­cara khusus. Agar kita dapat bersegera dalam hal menggapai rahmat Allah dan bergembira terhadap karunia dan nikmat-Nya, berikut ini, kami menyebutkan beberapa keutamaan puasa. Di antaranya adalah:

Pertama, ampunan dan pahala yang sangat besar bagi orang yang berpuasa.
Allah Jalla Tsanâ`uhu menyebutkan sederet orang-­orang yang beramal shalih, yang di antara mereka adalah laki-laki dan perempuan yang berpuasa, kemudian menyatakan pahala untuk mereka dalam firman-Nya,
أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“…Allah telah menyediakan, untuk mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [Al-Ahzâb: 35]

Kedua, puasa adalah tameng terhadap api neraka.
Dalam riwayat Al-Bukhâry dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَسْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّيْ امْرُؤٌ صَائِمٌ
“… dan puasa adalah tameng. Bila salah seorang dari kalian berada pada hari puasa, janganlah ia berbuat sia-sia dan janganlah ia banyak mendebat. Kalau orang lain mencercanya atau memusuhinya, hendaknya ia berkata, ‘Saya sedang berpuasa.’.”
Juga dalam hadits Jâbir, ‘Utsman bin Abil ‘Âsh, dan Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Imam Ahmad dan selainnya, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ جُنَّةٌ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنَ الْقِتَالِ
“Puasa merupakan tameng terhadap neraka, seperti tameng salah seorang dari kalian pada peperangan.”

Ketiga, puasa adalah pemutus syahwat.
Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, hendaklah ia menikah karena hal tersebut lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa karena sesungguhnya (puasa itu) adalah pemutus syahwatnya.”

Keempat, orang yang berpuasa mendapat ganjaran khusus di sisi Allah.
Hal tersebut karena puasa merupakan bagian kesabaran, sementara sabar terbagi tiga: sabar dalam hal menjalan­kan ketaatan, sabar dalam hal meninggalkan larangan, dan sabar dalam hal menerima ketentuan Allah. Orang yang berpuasa telah melakukan tiga jenis ke­sabaran ini seluruhnya, bahwa ia sabar dalam hal men­jalankan ketaatan yang diperintah dalam pelaksanaan puasa, sabar dalam hal meninggalkan segala hal yang dilarang dan diharamkan dalam pelaksanaan puasa, serta sabar dalam hal menjalani kepedihan terhadap lapar, haus, dan kelema­han pada tubuh. Karena puasa merupakan bagian kesabaran, wajar jika orang yang berpuasa mendapatkan pahala khusus yang tidak terhingga sebagaimana orang yang sabar mendapat pahala seperti itu. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ ber­firman,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabar­lah yang pahala mereka dicukupkan tanpa batas.” [Az-Zumar: 10]

Kelima, orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan.

Keenam, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau wangian kasturi.
Tiga keutamaan yang disebut terakhir termaktub dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرَ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan Anak Adam, kebaikannya dilipat­gandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa. Sesung­guhnya, (amalan) itu adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya karena (orang yang ber­puasa) meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku.’ Bagi orang yang berpuasa, ada dua kegembiraan: kegembiraan ketika dia berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia berjumpa dengan Rabb-nya. Sesung­guhnya, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau kasturi.” (Lafazh hadits adalah milik Imam Muslim)

Ketujuh, puasa sehari di jalan Allah menjauhkan wajah seseorang dari neraka sejauh perjalanan selama tujuh puluh tahun.
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Tidak seorang hamba pun yang berpuasa sehari di jalan Allah, kecuali, karena (amalannya pada) hari itu, Allah akan menjauh­kan wajahnya dari neraka (sejauh perjalanan) selama tujuh puluh tahun.”

Kedelapan, pintu khusus di surga bagi orang-orang yang berpuasa.
Dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sâ’idy radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مَعَهُمْ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَدْخُلُونَ مِنْهُ فَإِذَا دَخَلَ آخِرُهُمْ أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya, di surga, ada pintu yang dinamakan Ar­-Rayyân. Orang-orang yang berpuasa akan masuk melaluinya pada hari kiamat. Tidak ada seorang pun yang melewatinya, kecuali mereka. Dikatakan, ‘Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Lalu mereka memasukinya. Jika (orang) terakhir dari mereka telah masuk, (pintu) itupun dikunci sehingga tidak ada seorang pun yang melaluinya.”

Kesembilan, puasa termasuk kaffarah (penggugur) dosa hamba.
Dalam hadits Hadzaifah Ibnul Yamân radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِيْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَنَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ يُكَفِّرُهَا الصِّيَامُ وَالصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَالأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْىُ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Fitnah seseorang terhadap keluarga, harta, jiwa, anak, dan tetangganya dapat ditebus dengan puasa, shalat, shadaqah, serta amar ma’ruf dan nahi mungkar.” (Konteks hadits adalah milik Imam Muslim)
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Shalat lima waktu, (dari) Jum’at ke Jum’at, dan (dari) Ramadhan ke Ramadhan, adalah penggugur dosa (seseorang pada masa) di antara waktu tersebut sepanjang ia menjauhi dosa besar.”
Bahkan, puasa menjadi bagian kaffarah pada beberapa perkara seperti pelanggaran sumpah[1], zhihâr [2], sebagian amalan haji[3], pembunuhan Ahludz Dzimmah ‘orang yang berada di bawah perjanjian’ tanpa sengaja[4], dan pembunuhan hewan buruan saat ihram[5].

Kesepuluh, puasa termasuk amalan yang mengakibatkan seseorang dimasukkan ke dalam surga.
Dalam haditsnya riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, An-Nasâ`i, Ibnu Hibban, dan lain-lain, Abu Umâmah radhiyallâhu ‘anhu berkata kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمُرْنِيْ بِعَمَلٍ أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ . قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لاَ مِثْلَ لَهُ.
“Wahai Rasulullah, perintahlah saya untuk mengerjakan suatu amalan, yang dengannya, saya dimasukkan ke dalam surga. Beliau bersabda, ‘Berpuasalah, karena (puasa) itu tak ada bandingannya.’.”

Kesebelas, puasa memberi syafa’at pada hari kiamat.
Dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِيْ فِيهِ. وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِيْ فِيهِ. قَالَ فَيُشَفَّعَانِ.
“Puasa dan Al-Qur`an akan memberi syafa’at untuk seorang hamba pada hari kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Rabb-ku, saya telah melarangnya terhadap maka­nan dan syahwat pada siang hari, maka izinkanlah saya untuk memberi syafa’at baginya.’ Al-Qur`an berkata, ‘Saya telah menghalanginya dari tidur malam, maka izinkanlah saya untuk memberi syafa’at baginya.’ (Beliau) bersabda, ‘Maka, keduanya men­dapat izin untuk mensyafa’ati (hamba) tersebut.’.” (HR. Ahmad, Muhammad bin Nash Al-Marwazy, Al-Hâkim, dan selainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Tamâmul Minnah hal. 394-395)

Kedua belas, pada Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup, serta syaithan dibelenggu.
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
“Jika Ramadhan telah tiba, pintu-pintu surgadibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syaithan-syaithan dibelenggu.”

Ketiga belas, orang yang berpuasa pada Ramadhan, karena keimanan dan hal mengharap pahala, dosa-dosanya diampuni.
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan hal mengharap pahola, dosa­-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”

[1] [Al-Mâ`idah: 89]
[2] [Al-Mujâdilah: 3-4]
[3] [Al-Baqarah: 196]
[4] [An-Nisâ`: 92]
[5] [Al-Mâ`idah: 95]

http://dzulqarnain.net/dalil-dalil-tentang-kewajiban-dan-keutamaan-puasa-ramadhan.html


Tuntunan Ringkas Puasa Ramadhan

بسم الله الرحمن الرحيم


Tuntunan Ringkas Seputar

Hukum-Hukum Puasa Ramadhan



Muqaddimah


Definisi Puasa.

Secara bahasa bermakna menahan.

Sementara menurut syariat, Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- berkata, “Dia (puasa) adalah perbuatan menahan diri dari semua pembatal puasa disertai dengan niat (ibadah), sejak dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.” (Tafsir Al-Qurthubi pada ayat 183 dari surah Al-Baqarah)


Imam An-Nawawi berkata -memberikan definisi puasa- dalam Al-Majmu’ (6/247), “Penahanan yang bersifat khusus, dari sesuatu yang tertentu, yang dikerjakan pada waktu tertentu, dan dilakukan oleh orang tertentu.”

Ucapan beliau, “dari sesuatu yang tertentu,” yakni seorang yang berpuasa tidaklah menahan diri dari segala sesuatu akan tetapi terbatas pada apa yang bisa membatalkan puasanya. “Pada waktu tertentu,” yakni hanya pada siang hari dan pada hari-hari yang disyariatkan berpuasa di situ. “Oleh orang tertentu,” yakni hanya bagi mereka yang telah mumayyiz dan sanggup untuk berpuasa.

Pembagian Puasa.

Puasa dalam syariat Islam terbagi menjadi dua:

1. Puasa sunnah.

2. Puasa wajib, dan dia ada tiga jenis:

· Yang wajib karena waktu. Ini adalah puasa ramadhan, dan puasa ini yang akan kita bahas hukum-hukumnya.

· Yang wajib karena adanya sebab, dan dia adalah puasa dalam membayar kaffarat.

· Yang wajib karena seseorang mewajibkannya atas dirinya, yaitu puasa nazar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata dalam Kitab Ash-Shiyam dari Syarah Al-Umdah (1/26), “Puasa itu ada lima jenis: Puasa yang wajib dengan syara’ yaitu puasa bulan ramadhan baik yang ada`an maupun qadha`, puasa wajib dalam kaffarah, yang wajib karena nazar, dan puasa sunnah.” Lihat juga Shahih Fiqhus Sunnah (2/88)


Hukum Puasa Ramadhan.

Puasa ramadhan hukumnya adalah wajib atas setiap muslim yang balig, berakal, sehat dan muqim (bukan musafir). Dia merupakan salah satu dari rukun Islam, yang kewajibannya ditunjukkan oleh Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ umat ini.

Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang bisa menjalankannya (tapi mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 183-185)

Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: Syahadat ‘laa ilaha illallah’ dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji, dan berpuasa ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16 dari Ibnu Umar)

Umat Islam telah bersepakat bahwa puasa ramadhan adalah wajib. Barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia kafir keluar dari Islam, dan barangsiapa yang meninggalkannya dengan sengaja tapi tetap meyakini wajibnya maka dia tidak kafir, akan tetapi dia telah bergelimang dengan dosa besar, wal’iyadzu billah.

Faidah:

Al-Mardawi dalam Al-Inshaf (3/269) menukil kesepakatan ulama bahwa puasa ramadhan diwajibkan pada tahun kedua hijriah.


Keutamaan Puasa Ramadhan

Di antara dalil-dalil keutamaannya adalah:

1. Dari Abu Hurairah secara marfu’ dalam hadits Qudsi:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ, فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. الصِّيَامُ جُنَّةٌ

“Semua amalan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena dia itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai.” (HR. Al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151)

2. Juga dari Abu Hurairah, Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah berlalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 760)

3. Dari Abu Said Al-Khudri secara marfu’:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِهَذاَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا

“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah kecuali karenanya Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh 70 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 2840 dan Muslim no. 1153)

4. Dari Abu Hurairah secara marfu’:

“Jika bulan ramadhan telah tiba, pintu-pintu langit -dalam sebagian riwayat: Pintu-pintu surga­- dan pintu-pintu jahannam ditutup dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Al-Bukhari no. 1899 dan Muslim no. 1079)

5. Masih dari Abu Hurairah secara marfu’:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسَةُ, وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ, وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ, مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat yang lima waktu, shalat jumat satu ke shalat jumat selanjutnya, dari satu ramadhan ke ramadhan berikutnya, semuanya adalah penghapus dosa-dosa yang ada di antara keduanya, jika dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim no.233)

[Shahih Fiqhus Sunnah hal. 87-90]

http://al-atsariyyah.com/831.html


Dalil Naqli Keutamaan Puasa Ramadhan

Banyak sekali ayat-ayat yang tegas dan jelas dalam Al-Qur’an yang memberikan anjuran untuk melaksanakan puasa sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan juga Allah ta’ala telah menjelaskan keutamaan-keutamaannya, seperti firman-Nya: 
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35) 
Puasa Merupakan Perisai Bagi Seorang Muslim 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
يا معشر الشباب من اسطاع منكم الباءة فاليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
“Wahai sekalian para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barang siapa yang belum mampu menikah maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah penjaga baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka pada hadits ini Rasulullah memerintahkan bagi orang yang telah kuat syahwatnya akan tetapi belum mampu untuk menikah maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi pemutus syahwat ini, karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga badan bisa terkontrol menenangkan seluruh anggota badan serta seluruh kekuatan (yang jelek) bisa di tahan hingga dapat melakukan ketaatan dan di belenggu dengan kendali puasa. 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: 
ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا باعد الله بذالك وجهه عن النار سبعين خريفا
“Tidaklah seorang hamba yang berpuasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksud sabda Rasulullah “70 musim” adalah perjalanan 70 tahun, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6/48) 
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا باعد الله بذالك وجهه عن النار سبعين خريفا
“Barang siapa berpuasa satu hari di jalan Allah maka Allah akan menjadikan di antara neraka dan dirinya parit yang jaraknya sejauh bumi dan langit.”
Maka hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan berpuasa yang dilakukan karena ikhlas mengharapkan wajah Allah ta’ala sesuai dengan petunjuk yang telah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
“Barang siapa berpuasa satu hari di jalan Allah maka Allah akan menjadikan di antara neraka dan dirinya parit yang jaraknya sejauh bumi dan langit.”
Puasa Bisa Memasukkan Seorang Hamba ke Dalam Surga 

Puasa dapat menjauhkan seorang hamba dari neraka, yang berarti mendekatkannya menuju surga. 
Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah: 
يا رسول الله دلني على عمل أدخل به الجنة
“Wahai Rasulullah tunjukkan kepadaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke dalam surga.”
Rasulullah bersabda: 
عليك باصوم لا مثل له
“Hendaklah engkau melaksanakan puasa karena tidak ada yang semisal dengannya.” (HR. Nasaai, Ibnu Hibban dan Al Hakim)
Pahala Orang yang Berpuasa Tidak Terbatas.

Bau Mulutnya Lebih Wangi Daripada Wangi Kesturi dan Ia Memiliki Dua Kebahagiaan 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ.
“Semua amalan bani adam adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, dan puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah ia berkata keji dan berteriak-teriak. Jika ada orang yang mencacinya atau mengajaknya berkelahi maka hendaklah ia mengatakan, ’sesungguhnya aku sedang berpuasa’. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau misk. Orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan, ia bergembira ketika berbuka, dan ia bergembira ketika bertemu dengan rabbnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Bukhari disebutkan: 
يترك طعامه وشرابه وشهوته من أجلي. الصيام لي وأنا أجزي به والحسنة بعشر أمثالها
“Ia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan aku yang akan membalasnya, dan kebaikan itu akan digandakan sepuluh kali lipatnya.”
Dalam riwayat muslim disebutkan: 
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Semua amalan bani adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat hingga 700 kali lipatnya, Allah ta’ala berfirman, ‘Kecuali puasa sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan aku yang akan membalasnya, ia meninggalkan syahwat dan makannya karena aku, maka Aku yang akan membalasnya.’ Dan bagi orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-nya. Benar-benar mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih harum daripada harumnya misk.”
Puasa dan Al-Qur’an Akan Memberi Syafaat Kepada Ahlinya Pada Hari Kiamat 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat pada hari kiamat. Puasa mengatakan ‘Wahai Rabbku, aku menghalanginya dari makan dan syahwat pada siang hari maka berilah ia syafaat karenaku.’ Al-Qur’an pun berkata, ‘Aku menghalanginya dari tidur pada malam hari maka berilah ia syafaat karenanya.” Rasulullah mengatakan, “Maka keduanya akan memberikan syafaat.” (HR. Ahmad, Hakim)
Puasa Sebagai Kaffarat (Penebus Dosa yang Pernah Dilakukan) 

Di antara keutamaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah Allah menjadikannya sebagai kaffarat bagi orang yang memotong rambut kepalanya (ketika haji) karena ada uzur sakit atau penyakit di kepalanya, puasa juga dapat menjadi kaffarat bagi orang yang tidak mampu memberi kurban, kaffarat bagi pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena tidak sengaja, juga sebagai kaffarat bagi orang yang membatalkan sumpah atau yang membunuh binatang buruan di tanah haram dan sebagai kaffarat zhihar (mentalak istri). 
Allah ta’ala berfirman: 
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 196) 
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah, dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa: 92) 
لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari, yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar), dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maa-idah: 89) 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan Barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. Al-Maa-idah: 95) 
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (٣)فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (QS. Al-Mujadilah: 3-4) 
Demikian juga puasa dan shadaqah bisa menghapuskan musibah seseorang dari harta, keluarga dan anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
فتنة الرجل في أهله وماله وجاره تكفرها الصلاة والصيام والصدقة.
“Fitnah (musibah) seorang pria dalam keluarga (istrinya), harta dan tetangganya dapat dihapuskan dengan shalat, puasa dan shadaqah.”
Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang di sebut dengan Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan memasuki pintu tersebut pada hari kiamat, tidak ada selain mereka yang akan memasukinya. 

Orang yang Berpuasa Akan Mendapatkan Ar-Rayyan 
إن في الجنة بابا يقال له الريان، يدخل منه الصائمون يوم القيامة. لا يدخل منه أحد غيرهم فإذا دخلوا أغلق فلم يدخل منه أحد فإذا دخل آخرهم أغلق ومن دخل شرب ومن شرب لم يظمأ أبدا
“Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang di sebut dengan Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan memasuki pintu tersebut pada hari kiamat, tidak ada selain mereka yang akan memasukinya. Jika orang terakhir yang berpuasa telah masuk ke dalam pintu tersebut maka pintu tersebut akan tertutup. Barang siapa yang masuk, maka ia akan minum dan barang siapa yang minum maka ia tidak akan haus untuk selamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim), tambahan lafaz yang ada dalam kurung merupakan riwayat Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. (1903) (muslim.or.id)

http://baisamusthafa.blogspot.com/

http://baisamusthafa.blogspot.com/2010/08/dalail-naqli-keutamaan-puasa-ramadhan.html