Selasa, 30 Juli 2013

Pedoman I'tikaf


Cara dan Teladan Nabi Tentang I’Tikaf Pada Malam Bulan Ramadhan
1. Beliau beri’tikaf pd sepuluh hari terakhir bulan ramadhan hingga beliau wafat, pernah beliau meninggalkanya sekali, tetapi kemudian beliau qadha’ pd bulan syawal.
2.  Dan pernah beliau beri’tikaf sekali pd sepuluh hari pertama, kemudian pertengahan, kemudian sepuluh terakhir mencari lailatul qodar, kemudian diketahui olehnya bahwa lailatul qadar ada di sepuluh terakhir, maka beliau senantiasa beri’tikaf hingga menemui Rabb-nya.
3. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak beri’tikaf melainkan dengan berpuasa.
4. Dan pernah beliau memerintahkan agar dibuatkan tenda, lalu dibuat utknya di dalam masjid, beliau menyendiri di dalamnya.
5. Dan jika beliau ingin beri’tikaf, maka beliau shalat fajar kemudian masuk i’tikaf.
6. Dan jika beliau beri’tikaf kasur dan tempat tidurnya dibawa bersamanya di tempat i’tikaf, dan beliau masuk kubahnya sendirian.
7. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak masuk rumahnya kecuali karena kebutuhan insaniyah.
8. Beliau pernah memasukan kepalanya ke kamar Aisyah, lali ia menyisir (rambut) beliau r, dan dia radhiyallahu ‘anha  sedang haid.
9. Dan sebagian istrinya menjenguknya saat beliau sedang beri’tikaf, dan jika istrinya berdiri utk beranjak pergi, beliau berdiri bersamanya mengantarnya pergi, dan hal itu di waktu malam.
10. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak menggauli seorang pun dari istrinya saat beri’tikaf, tidak dengan ciuman dan tidak juga dengan lainya.
11. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam beri’tikaf dalam sepuluh hari dalam setahun, dan pd tahun beliau meninggal, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.

http://bank.my.id/cara-dan-teladan-nabi-tentang-itikaf-pada-malam-bulan-ramadhan.htm



I'TIKAF, MASJID, PANDUAN, RAMADHAN
Panduan I’tikaf di Masjid

Diantara rangkaian ibadah-ibadah dalam bulan suci Ramadhan yang sangat dipelihara sekaligus diperintahkan (dianjurkan) oleh Rasulullah SAW adalah i’tikaf. setiap muslim dianjurkan (disunnatkan) untuk beri’tikaf di masjid, terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. I’tikaf merupakan sarana meditasi dan kontemplasi yang sangat efektif bagi muslim dalam memelihara keislamannya khususnya dalam era globalisasi, materialisasi dan informasi kontemporer.

Definisi I’tikaf
Para ulama mendefinisikan i’tikaf yaitu berdiam atau tinggal di masjid dengan adab-adab tertentu, pada masa tertentu dengan niat ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT . Ibnu Hazm berkata: I’tikaf adalah berdiam di masjid dengan niat taqorrub kepada Allah SWT pada waktu tertentu pada siang atau malam hari. (al Muhalla V/179)

Hukum I’tikaf
Para ulama telah berijma’ bahwa i’tikaf khususnya 10 hari terakhir bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnatkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. A’isyah, Ibnu Umar dan Anas ra meriwayatkan: “Adalah Rasulullah SAW beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” (HR. Bukhori & Muslim) Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, kecuali pada tahun wafatnya beliau beri’tikaf selama 20 hari. Demikian halnya para shahabat dan istri beliau senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata: “Sepengetahuan saya tak seorang pun ulama mengatakan i’tikaf bukan sunnat”.

Fadhilah ( keutamaan ) I’tikaf
Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukan anda hadits yang menunjukkan keutamaan I’tikaf? Ahmad menjawab : tidak kecuali hadits lemah. Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah I’tikaf itu sendiri sebagai taqorrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keuatamaanya bahwa Rasulullah SAW, para shahabat, para istri Rasulullah SAW dan para ulama’ salafus sholeh senantiasa melakukan ibadah ini.

Macam-macam I’tikaf
I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam; satu sunnah, dan dua wajib. I’tikaf sunnah yaitu yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk bertaqorrub kepada Allah SWT seperti i’tikaf 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dan I’tikaf yang wajib yaitu yang didahului dengan nadzar (janji), seperti : “Kalau Allah SWT menyembuhkan sakitku ini, maka aku akan beri’tikaf.

Waktu I’tikaf
Untuk i’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan , sedangkan i’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan juga bisa singkat. Ya’la bin Umayyah berkata: ” Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk i’tikaf”.

Syarat-syarat I’tikaf
Orang yang i’tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
1. Muslim.
2. Berakal
3. Suci dari janabah (junub), haidh dan nifas.
Oleh karena itu i’tikaf tidak diperbolehkan bagi orang kafir, anak yang belum mumaiyiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.

Rukun-rukun I’tikaf
1. Niat (QS. Al Bayyinah : 5), (HR: Bukhori & Muslim tentang niat)
2. Berdiam di masjid (QS. Al Baqoroh : 187)
Disini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat i’tikaf . Sebagian ulama membolehkan i’tikaf disetiap masjid yang dipakai shalat berjama’ah lima waktu. Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan shalat jama’ah setiap waktu. Ulama lain mensyaratkan agar i’tikaf itu dilaksanakan di masjid yang dipakai buat shalat jum’at, sehingga orang yang i’tikaf tidak perlu meninggalkan tempat i’tikafnya menuju masjid lain untuk shalat jum’at. Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi’iyah bahwa yang afdhol yaitu i’tikaf di masjid jami’, karena Rasulullah SAW i’tikaf di masjid jami’. Lebih afdhol di tiga masjid; masjid al-Haram, masjij Nabawi, dan masjid Aqsho.

Awal dan akhir I’tikaf
Khusus i’tikaf Ramadhan waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke 21. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : ” Barangsiapa yang ingin i’tikaf dengan ku, hendaklah ia beri’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan (HR. Bukhori). 10 (sepuluh) disini adalah jumlah malam, sedangkan malam pertama dari sepuluh itu adalah malam ke 21 atau 20. Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, kalau i’tikaf dilakukan 10 malam terakhir, yaitu setelah terbenam matahari, hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menuggu sampai shalat ied.

Hal-hal yang disunnahkan waktu i’tikaf
Disunnahkan agar orang yang i’tikaf memperbanyak ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT , seperti shalat, membaca al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi SAW, do’a dan sebagainya. Termasuk juga didalamnya pengajian, ceramah, ta’lim, diskusi ilmiah, tela’ah buku tafsir, hadits, siroh dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama meninggalkan segala aktifitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah.

Hal-hal yang diperbolehkan bagi mu’takif (orang yang beri’tikaf)
1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhori Muslim)
2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
3. Keluar dari tempat keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluanya .
4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.

Hal-hal yang membatalkan I’tikaf
1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan salah satu rukun i’tikaf yaitu berdiam di masjid.
2. Murtad ( keluar dari agama Islam ) (QS. 39: 65)
3. Hilangnya akal, karena gila atau mabuk
4. Haidh
5. Nifas
6. Berjima’ (bersetubuh dengan istri) (QS. 2: 187). Akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.
7. Pergi shalat jum’at ( bagi mereka yang membolehkan i’tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat jum’at)

I’tikaf bagi Muslimah
I’tkaf disunnahkan bagi wanita sebagaimana disunnahkan bagi pria. Selain syarat-syarat yang disebutkan tadi, i’tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat lain sbb:
1. Mendapat izin (ridlo) suami atau orang tua. Hal itu disebabkan karena ketinggian hak suami bagi istri yang wajib ditaati, dan juga dalam rangka menghindari fitnah yang mungkin terjadi.
2. Agar tempat i’tikaf wanita memenuhi kriteria syari’at.
Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syarat i’tikaf adalah masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang dapat dipakai wanita beri’tikaf. Tetapi yang lebih afdhol- wallahu ‘alam- ialah tempat shalat di rumahnya. Oleh karena bagi wanita tempat shalat dirumahnya lebih afdhol dari masjid wilayahnya. Dan masjid di wilayahnya lebih afdhol dari masjid raya. Selain itu lebih seiring dengan tujuan umum syari’at Islamiyah, untuk menghindarkan wanita semaksimal mungkin dari tempat keramaian kaum pria, seperti tempat ibadah di masjid. Itulah sebabnya wanita tidak diwajibkan shalat jum’at dan shalat jama’ah di masjid. Dan seandainya ke masjid ia harus berada di belakang. Kalau demikian, maka i’tikaf yang justru membutuhkan waktu lama di masjid , seperti tidur, makan, minum, dan sebagainya lebih dipertimbangkan. Ini tidak berarti i’tikaf bagi wanita tidak diperboleh di masjid. Wanita bisa saja i’tikaf di masjid dan bahkan lebih afdhol apabila masjid tersebut menempel dengan rumahnya, jama’ahnya hanya wanita, terdapat tempat buang air dan kamar mandi khusus dan sebagainya. Wallahu ‘alam.

http://4rss.wordpress.com/2008/09/18/panduan-itikaf-di-masjid/


TATA CARA I'TIKAF MENURUT SUNNAH RASULULLAH SAW

Beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sering dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mencari keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan, khususnya malam mulia yang utama (lailatul-qadri). Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian para istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.” (Muttafaq ‘alaih)

I’tikaf memiliki adab-adab yang menentukan sah dan sempurnanya i’tikaf, termasuk kapan mulainya dan kapan berakhirnya, berikut amalan-amalan apa saja yang dikerjakan selama i’tikaf.

Barangsiapa berniat untuk melaksanakan sunnah ini hendaklah memulai i’tikaf dengan masuk ke masjid tempat i’tikaf sejak terbenamnya matahari di malam ke-21 Ramadhan, karena sepuluh hari terakhir Ramadhan dimulai ketika terbenam matahari di malam ke-21 Ramadhan. Jika dia menyiapkan tenda (kemah) di salah satu bagian masjid sebagai tempat menyendiri selama i’tikaf -dan ini hukumnya sunnah- hendaklah masuk ke dalam tenda (kemah itu setelah shalat shubuh. Dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulai i’tikaf di masjidnya ketika terbenam matahari di awal malam ke-21. Namun beliau baru menyendiri (masuk) di dalam tenda yang telah disiapkan untuk dirinya setelah shalat shubuh, berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan melakukan i’tikaf, beliau menunaikan shalat Fajar (shubuh), kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Ini adalah mazhab empat imam (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad) serta jumhur (mayoritas) ulama yang dirajihkan (dikuatkan) oleh al-Imam Ibnu ‘Utsaimin, dan inilah pendapat yang rajih.

Selama beri’tikaf hendaklah memerhatikan adab-adab berikut:

1. Tidak melakukan jima’ (senggama), berdasarkan ayat i’tikaf:

“Janganlah kalian menggauli istri-istri itu, sedangkan kalian beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah: 187)

Hal ini hukumnya haram dan membatalkan i’tikaf, baik dilakukan di masjid maupun di luar masjid (rumah). Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkannya secara khusus pada i’tikaf, padahal pada asalnya halal di luar i’tikaf. Jima’ diharamkan dalam i’tikaf karena bertentangan dengan tujuan i’tikaf.

2. Tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan i’tikaf, seperti keluar untuk bersenggama dengan istri di rumah, keluar untuk menekuni pekerjaannya, ataupun melakukan profesinya di tempat i’tikafnya [1], keluar untuk bertransaksi jual-beli, ataupun melakukan transaksi jual-beli di masjid, dan semisalnya. Apabila hal itu dilakukan maka i’tikafnya batal, meskipun ia telah mempersyaratkan akan melakukannya saat berniat melakukan i’tikaf, karena hal-hal tersebut bertentangan dengan tujuan i’tikaf. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Kalau memang ia butuh untuk bekerja (melakukan profesinya), jangan beri’tikaf.”

3. Tidak keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan yang tidak bersifat harus dilakukan. Adapun keluar untuk urusan yang bersifat harus dilakukan, hal itu boleh. Urusan tersebut meliputi hal-hal yang bersifat tabiat manusiawi seperti kebutuhan buang hajat dan makan minum, atau yang bersifat aturan syariat seperti wudhu, mandi janabah, dan shalat Jum’at. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak ada khilaf tentang bolehnya seseorang yang beri’tikaf keluar dari masjid untuk suatu urusan yang harus dilakukan.” Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang beri’tikaf, beliau biasanya tidak masuk rumah kecuali untuk suatu hajat (pada riwayat Muslim: untuk hajat manusiawi).” (Muttafaq ‘alaih)

Juga hadits ‘Aisyah yang mauquf (dinisbatkan kepada ‘Aisyah sebagai perbuatannya) yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya pada “Kitab al-Haidh”:

“Adalah aku (jika sedang beri’tikaf) biasa masuk rumah untuk suatu hajat, padahal di dalam rumah ada orang sakit. Aku tidak menanyakan keadaannya kecuali sambil lewat saja.” [2]

Oleh karena itu, tidak boleh keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan ketaatan yang bersifat sunnah, seperti menjenguk orang sakit dan mengantarkan jenazah, menurut pendapat yang rajih. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin, kecuali jika jelas baginya bahwa tidak ada yang mengurusi orang sakit tersebut selain dirinya -sedangkan kondisi sakitnya telah kritis- atau jika tidak ada yang bisa mengurusi jenazah tersebut selain dirinya, hal ini diperbolehkan. Sebab, pada kondisi itu hukumnya menjadi wajib atas dirinya. Jika ia keluar untuk suatu urusan yang harus dilakukannya, maka tidak boleh berlama-lama lebih dari hajatnya itu. Jika ia berlama-lama lebih dari hajatnya tersebut, maka i’tikafnya batal sebagaimana batalnya i’tikaf jika keluar untuk urusan yang tidak bersifat wajib meskipun hanya sebentar, menurut pendapat empat imam mazhab.

4. Disunnahkan menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah khusus, seperti shalat sunnah mutlak di waktu-waktu yang tidak terlarang, membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, serta beristighfar. Secara khusus, sepuluh malam terakhir Ramadhan dihidupkan dengan shalat tarawih. Inilah inti dan tujuan i’tikaf, untuk mengkhususkan diri dengan ibadah-ibadah tersebut. Itulah sebabnya pelaksanaan i’tikaf dibatasi harus di masjid.

5. Disunnahkan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun yang lainnya.

6. Tidak mengapa baginya untuk berbicara sebatas hajat dan berbincang-bincang dengan orang lain dalam batas yang dibolehkan dalam syariat, baik secara langsung maupun melalui telepon, selama hal itu masih dalam masjid tempat beri’tikaf. Demikian pula, tidak mengapa untuk dikunjungi kerabat atau temannya di tempat i’tikafnya serta berbincang-bincang sejenak dan tidak lama. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Shafiyyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha, salah seorang istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim (Muttafaqun ‘Alaih) tentang kedatangannya mengunjungi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari saat beliau melakukan i’tikaf, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri bersamanya dan mengantarkannya pulang ke rumahnya. [3]

Selanjutnya, i’tikaf berakhir ketika terbenam matahari di malam ‘Id dan tidak disyariatkan menunggu esok harinya hingga menjelang shalat ‘Id. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama serta Ibnu Hazm.

Catatan kaki:

[1] Seperti menjahit atau yang lainnya.

[2] Adapun periwayatan hadits ini secara marfu’ (dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud merupakan riwayat yang dha’if (lemah), sebab dalam sanadnya terdapat rawi yang lemah bernama Laits bin Abi Sulaim.

[3] Adapun keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari masjid untuk mengantarkan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha, dibawa kepada pemahaman bahwa hal itu merupakan keharusan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukannya, karena peristiwa itu di malam hari sehingga beliau khawatir jika membiarkannya pulang sendiri.


Oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini al-Makassari
Sumber: Majalah Asy Syariah, no. 63/VI/1431 H/2010, hal. 74-76.

http://saidaneffendi-darussalam.blogspot.com/2011/08/tata-cara-itikaf-menurut-sunnah.html


Panduan I'tikaf Ramadhan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ada suatu amalan di bulan Ramadhan yang mesti kita ketahui bersama demi meraih banyak pahala di bulan tersebut. Amalan tersebut adalah i'tikaf. Bagaimanakah tuntunan Islam dalam menjalankan i'tikaf  di bulan Ramadhan? Berikut panduan ringkas yang semoga bermanfaat bagi para pengunjung rumaysho.com sekalian. Semoga Allah senantiasa memberkahi.

I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri'tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri'tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”. [8]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ - قَالَ - فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i'tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa'id) berkata: Kemudian 'Aisyah radhiyallahu 'anha meminta izin untuk bisa beri'tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri'tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]

Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]

Yang Membatalkan I’tikaf

Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
Mandi dan berwudhu di masjid.
Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ - قَالَ - فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i'tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa'id) berkata: Kemudian 'Aisyah radhiyallahu 'anha meminta izin untuk bisa beri'tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

Adab I’tikaf

Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan


[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.

[2] Al Mughni, 4/456.

[3] HR. Bukhari no. 2044.

[4] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.

[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338

[6] Fathul Bari, 4/271.

[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.

[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.

[9] Fathul Bari, 4/271.

[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.

[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.

[12] Lihat Al Mughni, 4/462.

[13] Al Mugni, 4/461.

[14] HR. Bukhari no. 2041.

[15] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.

[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.

[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.

[18] Idem.

[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.

[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.

[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.

[22] Al Inshof, 6/17.

[23] Fathul Bari, 4/272.

[24] HR. Bukhari no. 2041.

[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.


http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3127-panduan-itikaf-ramadhan.html



Panduan Ramadhan (Bagian 15): Tuntunan I'tikaf Ramadhan - See more at: http://yufid.tv/itikaf-10-hari-terakhir-ramadan/#sthash.8jSFXhpy.dpuf

http://yufid.tv/itikaf-10-hari-terakhir-ramadan/



Panduan I’tikaf Lengkap

TA’RIEF (DEFINISI) I’TIKAF
Ditinjau dari segi bahasa: I’tikaf bermakna :berdiam di suatu tempat untuk melakukan sesuatu pekerjaan ; yang baik maupun yang buruk dan tetap dalam keadaan demikian.

Adapun pengertian i’tikaf menurut istilah adalah berdiam di masjid dalam rangka ibadah dari orang yang tertentu, dengan sifat atau cara yang tertentu dan pada waktu yang tertentu (Lihat Fathul Bari 4 : 344)

DALIL-DALIL DISYARIATKANNYA I’TIKAF
Firman Allah سبحانه وتعلى
وَلاَ تُـبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْـتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ البقرة : 187

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(QS. Al Baqarah : 187)

dalam hadits ‘Aisyah رضي الله عنها berkata :

“Adalah Nabi صل اللة عليه وسلم beri’tikaf sepuluh akhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah سبحانه وتعلى”. (HR. Bukhari dan Muslim)

HUKUM I’TIKAF
A. Telah sepakat ulama kita bahwa hukum asal dari i’tikaf adalah sunnah, bahkan Imam Ibnu ‘Arabi Al Maliki dan Ibnu Baththal رحمهما الله memasukkannya ke dalam sunnah muakkadah (yang dikuatkan) karena Rasulullah صل اللة عليه وسلم tidak pernah meninggalkannya selama hidupnya.

Dan hukum asal ini berubah menjadi wajib jika seseorang bernazar untuk melakukannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar رضي الله عنه bahwasanya beliau pernah bernazar untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, maka Rasulullah صل اللة عليه وسلم bersabda :

أَوْفِ بِنَذْرِكَ

“Tunaikan nazarmu itu”. HR. Bukhari dan Muslim

B. Hukum i’tikaf ini berlaku baik untuk muslim ataupun muslimah sebagaimana yang kabarkan oleh Shafiyyah رضي الله عنها ketika beliau menziarahi Nabi صل اللة عليه وسلم pada saat i’tikaf :

“Adalah Nabi صل اللة عليه وسلم (beri’tikaf) di masjid dan di sisinya terdapat istri-istri beliau (sedang beri’tikaf pula)…”. HR. Bukhari dan Muslim

Al Imam Ibnul Mundzir رحمه الله berkata: “Perempuan tidak boleh beri’tikaf hingga dia meminta izin kepada suaminya dan jika perempuan itu beri’tikaf tanpa izin maka suaminya boleh mengeluarkannya (dari i’tikaf). Dan jika seorang suami telah mengizinkan (istrinya) lalu mau mencabut izinnya maka hal itu dibolehkan baginya”. (Lihat Fathul Bari 4 : 351)

FADHILAH (KEUTAMAAN) I’TIKAF
Adapun fadhilahnya maka i’tikaf mempunyai beberapa keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah lainnya, diantaranya:

1.I’tikaf merupakan wasilah (cara) yang digunakan oleh Nabi صل اللة عليه وسلم untuk mendapatkan malam Lailatul Qadr

2.Orang yang melakukan i’tikaf akan dengan mudah mendirikan shalat fardhu secara kontinu dan berjamaah bahkan dengan i’tikaf seseorang selalu beruntung atau paling tidak berpeluang besar mendapatkan shaf pertama pada shalat berjama’ah

3.I’tikaf juga membiasakan jiwa untuk senang berlama-lama tinggal dalam masjid, dan menjadikan hatinya terpaut pada masjid

4.I’tikaf akan menjaga puasa seseorang dari perbuatan-perbuatan dosa. Dia juga merupakan sarana untuk menjaga mata dan telinga dari hal-hal yang diharamkan

5. Dengan I’tikaf membiasakan hidup sederhana, zuhud dan tidak tamak terhadap dunia yang sering membuat kebanyakan manusia tenggelam dalam kenikmatannya.

WAKTU I’TIKAF
I’tikaf boleh dikerjakan kapan saja, namun lebih ditekankan pada bulan Ramadhan, karena itulah yang sering dilakukan oleh Rasulullah صل اللة عليه وسلم. Dan lebih utama dikerjakan pada sepuluh akhir Ramadhan untuk mendapatkan Lailatul Qadr sebagaimana yang ditunjukkan hadits Abu Sa’id Al Khudri رضي الله عنه .

I’tikaf yang wajib harus dikerjakan sesuai jumlah hari yang telah dinazarkan, sedangkan i’tikaf yang sunnah tidak ada batasan maksimalnya dan hal ini disepakati oleh keempat ulama madzhab, dan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal ketika beri’tikaf hal ini berdasarkan atsar dari Umar رضي الله عنه dimana beliau mengabarkan kepada Nabi صل اللة عليه وسلم tentang nazar beliau untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, lalu Rasulullah صل اللة عليه وسلم memerintahkan kepadanya untuk menunaikan nazarnya. Imam Nawawi رحمه الله mengatakan : “Boleh seseorang beri’tikaf sesaat dan dalam waktu yang singkat…”. )Al Minhaj 8 : 307)

Telah ikhtilaf ulama kita tentang kapan awal masuknya seseorang yang mau beri’tikaf ke dalam masjid. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang memulai i’tikaf hendaknya memasuki masjid sebelum matahari terbenam. Pendapat yang kedua mengatakan, bahwa i’tikaf baru dimulai sesudah shalat shubuh, berdasarkan hadits ‘Aisyah رضي الله عنها:

“Adalah Nabi صل اللة عليه وسلم jika hendak beri’tikaf, beliau shalat shubuh kemudian masuk ke (mu’takaf) tempat i’tikafnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini dipegangi oleh Al Auza’iy, Al Laits dan Ats Tsauri serta dipilih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Imam Ash Shon’ani – رحمهم الله –

Dari dua pendapat yang ada maka yang paling dekat dengan dalil adalah pendapat yang kedua, yaitu masuk sesudah shalat shubuh, namun pendapat yang pertama lebih berhati-hati. Wallahu A’lam.

SYARAT-SYARAT I’TIKAF
Orang yang beri’tikaf memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhinya yaitu:
Seorang muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan yang baik dan buruk),berakal, dan suci dari janabat, haidh, serta nifas.

RUKUN-RUKUN I’TIKAF

1. Niat, karena tidak sah suatu amalan melainkan dengan niat.

2. Tempatnya harus di masjid. Dalilnya firman Allah سبحانه وتعلى yang artinya:

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid” (QS. Al Baqarah : 187)
Keharusan beri’tikaf di masjid ini berlaku pula untuk wanita, dalam hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama bahwa wanita tidak sah beri’tikaf di masjid rumahnya karena tempat itu tidaklah dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang shahih menerangkan bahwa istri-istri Nabi صل اللة عليه وسلم melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.

Dan berkata Al Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- tentang i’tikafnya istri-istri Nabi صل اللة عليه وسلم di masjid : “Hal ini menunjukkan disyariatkannya i’tikaf di masjid, karena seandainya tidak, tentu para istri-istri Nabi صل اللة عليه وسلم akan beri’tikaf di rumah-rumah mereka karena mereka telah diperintahkan untuk berlindung atau berdiam di rumah”. (Fathul Bari 4 : 352)

MASJID YANG SAH DIPAKAI I’TIKAF
Para ulama telah berikhtilaf tentang syarat masjid yang sah untuk di gunakan i’tikaf namun diantara pendapat-pendapat yang ada maka pendapat yang pertengahan dan paling dekat dengan kebenaran adalah I’tikaf harus dilaksanakan di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah padanya karena shalat berjama’ah bagi laki-laki hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan atsar ‘Aisyah رضي الله عنها yaitu:

“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah”. (HR. Ad Daraqutni dan Al Baihaqi)

Pendapat ini dipegangi pengikut madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad serta perkataan Hasan Al Bashri dan ‘Urwah bin Zubair رحمهم الله . Ibnu Qudamah رحمه الله menjelaskan:“Disyaratkannya i’tikaf di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah, karena shalat jama’ah itu wajib, dan ketika seseorang beri’tikaf di masjid yang tidak dilaksanakan shalat jama’ah akan mengakibatkan salah satu dari dua hal : meninggalkan shalat jama’ah yang merupakan kewajiban, yang kedua keluar untuk shalat di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah dan hal ini akan sering berulang padahal masih mungkin untuk menghindarinya, dan sering keluar dari tempat i’tikaf itu bertentangan dengan maksud/tujuan i’tikaf …”. (Al Mughni 4 : 461)

Jika seseorang i’tikaf di masjid jama’ah yang tidak dilaksanakan shalat Jum’at maka pada hari Jumat wajib atasnya untuk keluar shalat Jum’at dan i’tikafnya tidak batal karena dia keluar disebabkan udzur yang dibenarkan syariat dan hal tersebut hanya sekali dalam sepekan, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Said bin Jubair, Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakhaaiy, Imam Ahmad, Ibnul Mundzir, Dawud Azh Zhohiri, Ibnu Qudamah, dan lain-lain رحمهم الله .

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN I’TIKAF

1. Jima’ (bersetubuh/ bersenggama).
Dalilnya firman Allah سبحانه وتعلى yang artinya:

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(QS. Al Baqarah : 187)

2. Murtad.

3. Hilang akal

4. Haidh dan Nifas

5. Keluar dari masjid tanpa hajat yang dibolehkan, walaupun hanya sebentar. Keluar dari masjid membatalkan i’tikaf karena tinggal di masjid adalah rukun i’tikaf.

ADAB-ADAB I’TIKAF
Ada beberapa adab yang hendaknya seseorang yang beri’tikaf memperhatikannya dan berusaha untuk melaksanakannya. Diantara adab-adab tersebut adalah :

1. Memperbanyak ibadah-ibadah sunnah yang mendekatkan dirinya kepada Allah سبحانه وتعلى.

2.Membuat bilik-bilik di masjid untuk digunakan berkhalwat sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi صل اللة عليه وسلم , terutama jika ada wanita yang ikut beri’tikaf, maka wajib atas wanita untuk membuat bilik-bilik tersebut agar terhindar dari ikhtilat (bercampur) dan saling pandang-memandang dengan lawan jenis.

3.Meninggalkan perdebatan dan pertengkaran walaupun dia berada di pihak yang benar

4.Juga hendaknya menghindari dari mengumpat, berghibah, dan berkata-kata yang kotor, karena hal-hal tersebut terlarang di luar i’tikaf maka pelarangannya bertambah pada saat i’tikaf.

5.Dan secara umum seluruh perbuatan dan perkataan yang tidak bermanfaat hendaknya ditinggalkan, karena semua hal itu akan mengurangi pahala beri’tikaf

HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN SEWAKTU I’TIKAF
1. Keluar untuk suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.
Dalilnya hadits Aisyah رضي الله عنها ia berkata :

“Dan adalah Rasulullah صل اللة عليه وسلم jika sedang beri’tikaf di masjid, kadang beliau memasukkan kepalanya maka saya menyisirnya dan adalah beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena kebutuhan yang manusiawi”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Malik رحمه الله berkata : “Tidaklah seseorang dikatakan beri’tikaf hingga dia meninggalkan hal-hal yang harus dia tinggalkan seperti menjenguk orang sakit, shalat jenazah, dan masuk ke rumah kecuali ada hajat insan

Imam Az Zuhri رحمه الله menafsirkan hajat insan (kebutuhan yang manusiawi) sebagai kencing dan buang air besar, dan kedua hal ini merupakan ijma’ tentang bolehnya keluar masjid disebabkan kedua hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir رحمه الله.

2.Menyisir rambut, mencukurnya, memotong kuku dan membersihkan badan dari berbagai kotoran”.(Lihat :Ma’alim As Sunan 2 : 578)
3. Membawa kasur dan perlengkapan lainnya ke masjid.

4. Menerima tamu dan mengantarkannya hingga ke pintu masjid. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah صل اللة عليه وسلم ketika beliau diziarahi oleh istri beliau Shofiyyah .

5. Makan dan minum di dalam masjid dengan tetap memelihara dan menjaga kebersihan dan kemuliaan masjid.

KHATIMAH
Seseorang yang berniat untuk beri’tikaf hendaknya mempertimbangkan maslahat dan mudharat. Jika dia adalah seorang pemuda yang sangat dibutuhkan oleh orang tuanya maka hendaknya dia mendahulukan hak orang tuanya karena hal tersebut wajib, namun jika dia diizinkan untuk beri’tikaf maka itulah yang utama. Demikian pula dengan orang yang bekerja di bidang jasa dan kepentingan masyarakat umum hendaknya mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi dan sungguh Allah سبحانه وتعلى Maha Mengetahui apa yang diniatkan oleh hamba-hamba-Nya.

Adapun bagi mereka yang Allah سبحانه وتعلى muliakan dengan memberikan kesempatan untuk beri’tikaf di tahun ini hendaknya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, raihlah hikmah dan faidah i’tikaf, perhatikanlah adab-adabnya serta jauhkanlah dari hal-hal yang terlarang dan janganlah menjadi orang yang i’tikafnya tidak ubahnya dari sekedar berpindah tempat tidur saja. Mudah-mudahan dengan i’tikaf ini anda bisa mendapatkan malam yang lebih mulia dari seribu bulan : “Lailatul Qadr”. (Al Fikrah)

www.wahdah.or.id

http://www.belajarislam.com/panduan-i%E2%80%99tikaf-lengkap/


Tidak ada komentar: