Senin, 19 November 2012

RENUNGAN SUNNAH 01


Dari Ibnu Umar Ra. ia berkata: “Pada satu ketika dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepotong emas. Emas itu adalah emas zakat yang pertama sekali dibawa oleh Bani Sulaim dari  pertambangan  mereka. Maka sahabat berkata: “Hai Rasulullah! Emas ini adalah hasil  dari tambang kita”. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa  Sallam menjawab,  “Nanti kamu akan dapati banyak tambang-tambang, dan  yang akan menguasainya adalah orang-orang jahat“. (HR. Baihaqi)

Firman Allah ta’ala yang artinya “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60] : 8)

Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut  merasakan sakitnya).” (HR Bukhari 5552) (HR Muslim 4685)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Barang   siapa menahan (menutup) anggur pada hari-hari pemetikan, hingga ia menjualnya kepada orang Yahudi, Nasrani, atau orang yang akan membuatnya   menjadi khamr, maka sungguh ia akan masuk neraka” (At Thabraniy dalam Al Ausath dan dishahihkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy).

Firman Allah ta’ala yang artinya “….dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran/permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS Al Ma’idah [5]:2)

Firman Allah ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)

Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya “Tidakkah kamu  perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum  yang dimurkai Allah  sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan  kamu dan bukan (pula)  dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman   kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu  memahaminya”, (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119).



Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau  berfikir tentang Dzat Allah".

Imam Sayyidina  Ali ra juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya  yang menciptakan  ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana  (pertanyaan tentang  tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat  makhluk) tidak boleh  dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221: “Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap  rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan  kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan  Dzat-Nya: Di mana?.”
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana  Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan  kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak  ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha  Tahu dan Kuasa“.
Hadit kisah budak Jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatkan  oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami tidak bisa dijadikan landasan untuk i'tiqod karena pertanyaan “di mana” atau "bagaimana"  tidak patut  disandarkan kepada Allah ta'ala.
Hadits tersebut tidak diletakkan dalam bab tentang iman (i’tiqod) namun pada bab tentang sholat.
Hal pokok yang disampaikan oleh hadits terebut adalah pada bagian perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan  manusia, karena  shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca  al-Qur’an.”
Pada saat Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami  meriwayatkan kisah budak  Jariyah, beliau dalam keadaan baru masuk Islam yang dapat diketahui dengan pernyataannya "Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam  sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di  dalam  kejahiliyahan kemudian datang Islam". Jadi redaksi/matan kisah  budak  Jariyah adalah periwayatan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami secara   pribadi
Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah  Shahih Muslim  (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni  pertanyaan ‘Aina  Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan  tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan  kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul  kodri  jiddan (derajat Allah sangat tinggi).
Ada riwayat-riwayat yang lain yang lebih menjelaskan pemenuhan syarat sebagai orang beriman seperti
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Aku dikhabarkan oleh `Atha`, bahwasanya   seorang laki-laki memiliki seorang budak perempuan yang  dipekerjakannya  untuk mengembalakan kambingnya dan kambing-kambing ini  merupakan kambing pilihan – yakni dari kambingnya yang banyak itu-. Kemudian ia bermaksud  memberikannya (kambing tersebut) kepada Nabi  shallallahu alaihi  wasallam Lalu tibalah binatang buas dan menerkam  kambingnya. Si  laki-laki kemudian marah dan menampar wajah budak  perempuan. Si lak-laki  lantas mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan menyebutkan semua yang terjadi kepada Nabi shallallahu  alaihi wasallam. Ia juga  menyebutkan bahwa ia mesti membebaskan seorang  budak yang beriman  sebagai kafarah dan ia bermaksud untuk menjadikan  budak ini sebagai  budak yang dibebaskannya ketika ia menamparnya itu.  Maka Rasul  shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya: “Datangkanlah  ia  kepadaku!”. Rasul shallallahu alaihi wasallam kemudian menanyainya   (budak wanita): “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain   Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “bahwasanya Muhammad adalah utusan   Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “kematian serta kebangkitan adalah sesuatu yang haq?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “surga dan neraka dalah haq?” Ia menjawab: “Iya”. Ketika selesai dialog tersebut, Rasul shallallahu alaihi wasallam mengatakan: “Bebaskanlah ia atau tetap bersamamu!”   (`Abdul Razzaq, Mushannaf, hadits no.: 16815 )
Disampaikan kepadaku oleh Imam Malik: dari Syihab dari `Ubaidillah  Bin Abdullah Bin `Uthbah Bin Mas`ud bahwasanya seorang laki-laki dari  kalangan Anshar  mendatangi Rasul shallallahu alaihi wasallam ia  memiliki seorang budak wanita berkulit hitam dan berkata: Wahai Rasul shallallahu alaihi  wasallam sesungguhnya saya mesti membebaskan seorang  budak beriman,  jikalau engkau melihatnya beriman, maka bebaskanlah ia.  Maka Rasul  shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya (budak  wanita) “Apakah  engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Ia  menjawab: “Iya”.  Dan “apakah engkau bersaksi bahwasanya Muhammad  adalah utusan Allah?”  ia menjawab: “Iya”. Dan “apakah engkau meyakini  adanya kebangkitan  setelah kematian?! Ia menjawab: “Iya”. Rasul  shallallahu alaihi wasallam  kemudian mengatakan : “bebaskanlah ia”  (Imam Malik, Al Muwatha`, hadits  no.: 1469)

Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang   pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus   Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20   menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah   fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur   al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu   Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat yang telah diakui dan disepakati oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)

Allah ta'ala berfirman yang artinya "Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui". (QS Yusuf [12]:76)

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam doanya:
اللهم أنت الاول فليس قبلك شئ وأنت الآخر فليس بعدك شئ وأنت الظاهر فليس    فوقك شئ وأنت الباطن فليس دونك شئ اقض عنا الدين واغننا من الفقر .
“Ya Allah, Engkaulah Dzat Yang Maha Awal, maka tiada sesuatu    sebelum-Mu. Engkaulah Dzat Yang Maha Akhir, maka tiada sesuatu setelah-Mu. Engkau lah Dzat Yang Maha Dzahir maka tiada sesuatu di    atas-Mu dan Engkau lah Dzat yang Maha Bathin maka tiada sesuatu di bawah-Mu. Ya Allah lunasilah hutangku dan kayakan aku dari kefakiran.” (HR Muslim, Shahih Muslim, 4/2084) atau (Syarah Muslim, 17/36)
Rasulullah bersabda "tiada sesuatu di atas-Mu", "tiada sesuatu di   bawah-Mu", maknanya tidak berlaku arah atas dan bawah bagi Dzat Allah 

Begitupula Allah ta'ala berfirman
"sabbaha lillaahi maa fiis samaawaati wamaa fiil ardhi"
yang artinya "bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi" (QS Ash Shaff [61]:1)
yusabbihu lillaahi maa fiis samaawaati wamaa fiil ardhi"
yang artinya "bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi" (QS At Taghaabun [64]:1)

Begitupula Allah ta'ala berfirman bahwa yang meliputi 'Arsy maupun langit dan segala sesuatu adalah ilmuNya bukan DzatNya
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya  benar-benar meliputi segala sesuatu”. (QS Ath Thalaq [65]:12)
“ilmu Engkau meliputi segala sesuatu” (QS al Mu’min / al Ghaafir [40]:7)

Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz    Al-‘Iraqi), Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al Muhith mengatakan: “Yang   dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut (Q Al-Mulk [67]:16) adalah malaikat”. Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit. Perkataan  ‘man’ yaitu ‘siapa’ dalam ayat   tadi berarti malaikat bukan berarti  Allah berada dan bertempat di   langit.
Dalam tafsir jalalain Imam Suyuthi ~rahimahullah mengatakan : “Yang   dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut   adalah  kekuasaan/kerajaan dan qudrat-Nya (Shulthonihi wa qudratihi )   jadi  yang di langit adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthonihi wa    qudratihi) bukan dzat Allah.
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka kemana yang Ia  kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat  pandangan ke  langit  karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu  sama dengan  sangkaan  seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia  meletakkan muka  nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama  seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia  menghadap ke arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid - 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah   di  langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah  Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim  jilid :5   hal :22]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa, sebagaimana Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-Hafidh Murtadha    Az-Zabidi juga berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu    maha suci Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud   mengangkat  tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya dua macam   yang telah  disebutkan oleh At-Thurthusyi :
Pertama: sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat    sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat  Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada  penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkat nya segala amalan  (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit  ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit  itu tempat  bagi  perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan  Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5,  hal 244]
Ulama yang sholeh dari kalangan keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki berkata  "Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada  Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada  Tuhanmu. Maka    kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan  bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang  diminta ada di tempat itu atau    menempati tempat itu karena Allah  Subhanahu wa ta’ala suci dari arah  dan tempat. Maka kembalinya Nabi  Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau  meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan  yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi  Musa alaihissalam di bumi."
Pada hakikatnya ‘Arsy diciptakan untuk menunjukkan kekuasaan Allah Azza wa Jalla sehingga tidak ada yang patut dijadikan Raja Manusia sebagaimana firmanNya malikinnaas, “Raja manusia” (QS An Naas [114]:2)
Rasulullah bersabda “wa Robbal ‘arsyil ‘azhiimii” , “Tuhan yang menguasai ‘Arsy” (HR Muslim 4888)
Imam Sayyidina Ali ra berkata, “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi DzatNya”
Pada hakikatnya beliau menemukan pertentangan di antara pendapatnya sendiri dikarenakan memahami dengan makna secara dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau memahaminya dengan metodologi “terjemahkan saja” dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja terhadap hadits “Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam“.
Allah ta’ala berfirman “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa [4] : 82)
Firman Allah ta’ala dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa    dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an. Jikalau manusia    mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maka pastilah yang    salah adalah pemahamannya.
Dengan arti kata lain segala pendapat atau pemahaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits tanpa bercampur dengan akal pikiran sendiri atau hawa nafsu maka pastilah tidak ada pertentangan di dalam pendapat atau pemahamannya.
“arrahmaanu ‘alaal  ‘arsyi istawaa” dan biasanya diterjemahkan dengan “Tuhan Yang Maha  Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha [20]: 5 )
Para ahli bahasa di negara kita telah sepakat bahwa terjemahan istawa adalah bersemayam
Bersemayam mempunyai dua makna yakni makna dzahir dan makna majaz
Makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat dari bersemayam menurut kamus bahasa Indonesia adalah
1. duduk; Pangeran bersemayam di kursi kerajaan
2. tinggal; berkediaman, bertempat; Presiden bersemayam di Istana Negara
Sedangkan makna tersirat atau makna majaz (makna kiasan) dari  bersemayam adalah terkait dengan hati, terpendam dalam hati, tersimpan (kata kiasan); Sudah lama dendam itu bersemayam di hatinya atau cinta    bersemayam di hatinya.
Kita mengimani sebagaimana lafaznya  "arrahmaanu ‘alaal ‘arsyi istawaa" atau terjemahannya “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” namun tidak boleh memaknai  istawa atau bersemayam dengan makna dzahir bahwa Allah ta'ala bertempat  atau duduk di atas 'Arsy
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat mutasyabihat  tentang sifat dengan makna   dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578  H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat  Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna  Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal  kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda  dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah ketika ditanya terkait firman Allah   QS.  Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia   tidak  diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha  Suci  dari  batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia  tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Dalam kitab al-Washiyyah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan: “Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam  pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam  pengertian bahwa   Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang  memelihara arsy dan   memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan  kapada   makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam  ini dan   mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti  sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia   berubah,  sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada  itu semua dengan kesucian yang agung”
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ    تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ    تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ    كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang  berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”
Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi ( 227-321 H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالغَايَاتِ وَالأرْكَانِ     وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ  كَسَائِرِ    الْمُبْتَدَعَاتِ
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk  kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun    anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak  lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu  maupun enam arah  penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang)  tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Syaikh Nawawi al Bantani berkata
Barang siapa meninggalkan 4 kalimat maka sempurnalah imannya, yaitu
1. Dimana
2. Bagaimana
3. Kapan dan
4. Berapa
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Dimana Allah ?
Maka jawabnya : Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh masa
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Bagaimana sifat Allah ?
Maka jawabnya : Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Kapan adanya Allah ?
Maka jawabnya : Pertama tanpa permulaan dan terakhir tanpa penghabisan
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Ada Berapa Allah ?
Maka jawabnya : Satu Sebagaimana firman Allah Ta`ala di dalam    Qalam-Nya  surat Al-Ikhlas ayat pertama : “Katakanlah olehmu : bahwa    Allah itu  yang Maha Esa ( Satu ).
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Bagaimana Dzat dan sifat Allah ?
Maka jawabnya : Tidak boleh membahas Dzat Allah Ta`ala dan     Sifat-sifatnya. Karena meninggalkan pendapat itu sudah termasuk     berpendapat. Membicarakan Zat Allah Ta`ala menyebabkan Syirik. Segala     yang tergores didalam hati anda berupa sifat-sifat yang baru adalah     pasti bukan Allah dan bukan sifatnya.
Orang yang meyakini bahwa Allah adalah  menempel di atas arsy atau   melayang di atas arsy, berjarak dengan arsy,  sama besarnya dengan arsy,   memenuhi arsy atau separuh dari arsy atau  meyakini bahwa Allah lebih   besar dari arsy dari segala arah kecuali arah  bawah atau bahwa Allah   adalah cahaya yang bersinar gemerlapan atau  bahwa Allah adalah benda   yang besar dan tidak berpenghabisan atau  berbentuk seorang yang muda   atau remaja atau orang tua yang beruban,  maka semua orang ini tidak   mengenal Allah.
Kesalahpahaman mereka dalam ilmu tauhid dikarenakan mereka   meninggalkan Aqidatul Khomsin, Lima puluh Aqidah dimana di dalamnya ada   20 sifat yang wajib bagi Allah yang merupakan sarana atau   batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat   dengan tujuan untuk mengenal Allah.
Ilmu tauhid harus diajarkan dan dipahami sejak dini karena jika tidak mengenal Allah yang kita sembah maka boleh jadi sholatnya cuma sampai di sajadah, sedekahnya cuma sampai ke tangan penerima, hajinya cuma   sampai di Mekah, kurbannya cuma sampai di mulut yang memakan atau dengan   kata lain amal ibadahnya tidak sampai kepada Allah.
Al-Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata:
مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ (رَوَاه أبُو نُعَيم
“Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Al-Imam al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:
لاَ تَصِحُّ الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.

Wallahu a'lam bishshawaab

Tidak ada komentar: